Jumat, 05 Juni 2009

Derita Bu Prita dan Pedang Algojo Kebenaran

Secara pribadi, saya tak mengenal Bu Prita Mulyasari. Kasus tragis yang menimpanya pun bisa dibilang terlambat saya ikuti. Begitu kasus itu terbuka di tengah-tengah publik, simpati pun berdatangan. Selain web khusus yang mengangkat topik hangat seputar kasus Bu Prita, ada juga beberapa penganut facebookiyah yang mau repot-repot membuat ruang khusus untuk berdiskusi dan memberikan empati kepadanya. Semoga saja tak terjebak ke dalam sikap latah kalau saya menulis tentang kasus ibu rumah tangga yang akan menghadapi persidangan pada Kamis, 4 Juni 2009 di PN Tangerang itu.

Ibu Prita, 32 tahun, hanyalah seorang ibu rumah tangga dengan dua anak yang masih balita. Suatu hari Ibu tsb. sakit dan berobat ke Rumah Sakit Omni Internasional, Tangerang. Tak disangka malah mendapat perlakuan tak layak saat pengobatannya. Hal ini membuat dia berkeluh-kesah melalui email yang dikirim ke teman-temannya dan terkirim pula keSurat Pembaca Detikcom.

Tapi, gara-gara email itulah, ia kemudian digugat oleh Rumah Sakit Omni. Ia dianggap mencemarkan nama baik rumah sakit itu. Prita kalah di persidangan perdata, dan sedang proses naik banding. Ia juga menghadapi persidangan pidana dan dijerat Pasal 27 Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Begitulah narasi singkat yang saya baca di sini.

Dalam pemahaman awam saya, kasus ini bisa jadi mengindikasikan terjadinya “togogisasi” di atas panggung sosial negeri ini. Suara-suara kritis yang ingin menyampaikan kebenaran berusaha dibungkam dengan menggunakan pendekatan kekuasaan. Nilai-nilai kemanusiaan dikebiri. Ibarat sebuah pakeliran wayang purwa, kini tengah memasuki adegan goro-goro. Bumi gonjang-ganjing. Para penghuni bumi berlarian lintang-pukang mencari jatidiri. Kebaikan hanya beda-beda tipis dengan kejahatan. Banyak orang bisa malih rupa dengan topeng-topeng kemunafikan. Kalau tak jeli, yang benar bisa jadi salah, yang salah pun bisa disanjung dan dipuji. Dengan meminjam adagium Serat Kalatidha karya Pujangga Ranggawarsita, Franz Magnis Suseno pernah membuat ungkapan menarik.

Wong lugu keblenggu, wong jujur kojur, wong bener thenger-thenger, wong jahat munggah pangkat, pengkhianat saya nikmat, durjana saya kepenak.” (orang lugu terbelenggu, orang jujur terperosok, orang benar terdiam kehabisan akal, orang jahat naik pangkat, pengkhianat tambah nikmat, para durjana semakin hidup enak).

Bisa jadi, hanya kesabaran, keuletan, dan kewaspadaanlah yang bisa melewati masa goro-goro itu. Jangan sampai menunggu datangnya”Ratu Adil” yang hanya ada dalam mitos dan fiksi. Siapa pun yang merasa peduli untuk mengakhiri masa goro-goro itu, perlu membangun kesadaran kolektif untuk ikut menggemakan suara-suara kebenaran dan nilai-nilai nurani kemanusiaan yang –dengan sengaja atau tidak—hendak dibungkam dan dikoyak. Kita tak bermaksud latah dan sok suci, apalagi berpamrih sempit untuk menjual derita sesama kepada publik.

Untuk Bu Prita, karena kasusnya sudah masuk dalam ranah hukum, hadapilah semua peristiwa tragis itu dengan ketabahan dan ketegaran hati. Di belakangmu ada jutaan “pedang algojo kebenaran” yang siap memancung kepala orang yang dengan sengaja hendak mencederai nilai-nilai kebenaran. Untuk pihak RS OMNI Internasional, Tangerang, berikanlah keterangan dan informasi yang sejujurnya di pengadilan, karena membawa nama Tuhan yang akan menjadi pengadil yang sesungguhnya di zaman keabadian. Untuk penegak hukum, sentuhlah setiap perkara di persidangan dengan tangan-tangan yang sarat kearifan dan kebajikan.

Hanya dengan cara seperti ini bentuk dukungan moral yang bisa saya berikan untuk ikut merajut kembali puing-puing kemanusiaan yang kini (nyaris) telah luluh-lantak akibat kepongahan dan kecongkakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar