Sabtu, 20 Juni 2009

makalah konsep distribusi dalam islam

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Dalam sistem ekonomi konvensional, kelangkaan merupakan masalah yang utama. Masalah ini muncul karena ada perbedaan antara kebutuhan manusia (yang tak terbatas) dan faktor-faktor produksi (relatif terbatas). Namun, sistem ekonomi Islam meyakini bahwa Allah SWT menciptakan alam raya, termasuk bumi beserta isinya, cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh umat manusia. Sehingga kelangkaan pada dasarnya tidak menjadi masalah dalam perspektif ekonomi Islam.
“ Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukan untuk (kepentingan) mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untuk mu nikmat-Nya lahir dan bathin” (QS. Lukman: 20).
“ Dan Dia telah menciptakan binatang ternak untuk kamu; padanya ada (bulu) yang menghangatkan dan berbagai-bagai manfaat, dan sebagiannya kamu makan” (QS. An-nahl: 5).
“ Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman; zaitun, kurma, anggur dan segala macam buah-buahan” (QS. An-nahl: 11).
Dari beberapa ayat di atas, jelaslah bahwa masalah kelangkaan sebenarnya tidak pernah terjadi ketika mekanisme kolektifitas dilakukan dengan benar. Allah SWT dengan tegas mengungkapkan:
“ Dan bahwasanya Dia yang memberikan kekayaan dan kecukupan” (QS. An-nahl: 48).
Sehingga yang relatif berpotensi menjadi masalah adalah distribusi harta yang tidak merata, yang diberikan Allah SWT kepada masing-masing manusia. Namun pendistribusian harta (rezeki) yang tidak merata oleh Allah SWT bukanlah dilakukan tanpa maksud. Itu sebenarnya merupakan sebuah sunnatullah, bahkan pada perspektif tertentu merupakan tanda kasih sayang Allah pada hamba-Nya.

B. Pembatasan Masalah
Mengingat keterbatasan penyusun dalam penyususnan makalah, kiranya perlu penyusun membatasi masalah agar hasil makalah ini mencapai tujuan yang diinginkan. Adapun pembatasan masalah tersebut adalah sebagai berikut:
1. Variabel Distribusi Pendapatan, dibatasi sebagai berikut:
1.1. tentang Konsep Distribusi Pendapatan dalam Islam
1.2. tentang Dampak Distribusi Pendapatan dalam Islam
2. Variabel Distribusi Kekayaan, dibatasi sebagai berikut:
2.1. tentang Konsep Distribusi Kekayaan dalam Islam
2.2. tentang Larangan Menumpuk Kekayaan dalam Islam
2.3. tentang Perbedaan Penimbunan/Penumpukkan, Tabungan (Saving), dan Investasi
C. Kegunaan Penulisan
1. Khususnya sebagai salah satu tugas mata kuliah Prinsip-prinsip Ekonomi dalam Islam di Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Umumnya untuk menjadi bahan edukasi sehingga dapat menambah pengetahuan dalam masalah Distribusi Pendapatan dan Kekayaan dalam Islam dan diharapkan dapat menginterprestasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
BAB II
PEMBAHASAN

Dalam aktivitas perekonomian distribusi ada dua, yaitu: distribusi pendapatan dan distribusi kekayaaan, baik yang sifatnya melalui kegiatan-kegiatan ekonomi maupun yang bersifat sosial.
Muhammad Anas Zarqa mengungkapkan ada beberapa faktor yang menjadi dasar distribusi, yaitu tukar menukar (exchange), kebutuhan (need), kekuasaan (power), sistem sosial (social system), dan nilai etika (ethical values). Sangat penting memelihara distribusi agar tercipta sebuah perekonomian yang dinamis, adil dan produktif. Contoh yang sangat jelas dari urgensi distribusi dalam islam adalah eksistensinya mekanisme zakat dalam ekonomi.

1. Konsep Distribusi Pendapatan dalam Islam
Fungsi distribusi dalam aktivitas ekonomi pada hakikatnya mempertemukan kepentingan konsumen dan produsen dengan tujuan kemaslahatan ummat. Ketika konsumen dan produsen memiliki motif utama yakni memenuhi kebutuhan maka distribusi melayani kepentingan ini dan memperlancar segala usaha menuju ke arah motif dan tujuan ini.
Dalam Islam penjaminan kelancaran distribusi ini sudah disistemkan melalui prinsip-prinsip atau ketentuan-ketentuan syariah, misalnya kewajiban menjalankan mekanisme zakat dan mekanisme jual beli yang diatur oleh syariah.

1.1. Distribusi Pendapatan dalam Islam
Konsep islam menjamin sebuah distribusi pendapatan yang memuat nilai-nilai insani, karena dalam konsep Islam distribusi pendapatan meliputi:
1. Kedudukan manusia yang berbeda antara satu dengan yang lain merupakan kehendak Allah. Allah berfirman:
“ Dan Dia-lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian yang lain beberapa derajat untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya amat cepat siksa-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi maha penyayang” (QS. Al-An’aam: 165).
2. Pemilikan harta pada hanya beberapa orang dalam suatu masyarakat akan menimbulkan ketidakseimbangan hidup dan preseden buruk bagi kehidupan. Allah berfirman:
“ Dan orang-orang yang zalim itu hanya mementingkan kenikmatan yang mewah yang ada pada diri mereka dan mereka adalah orang-orang yang berdosa” (QS. Huud: 116).
3. Pemerintah dan masyarakat mempunyai peran penting untuk mendistribusikan kekayaan kepada masyarakat. Allah berfirman:
“ Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang meminta bagian” (QS. Adz-Dzariyaat: 19).
4. Islam menganjurkan untuk membagikan harta lewat zakat, sedekah, infaq dan lainnya guna menjaga keharmonisan dalam kehidupan sosial. Allah berfirman:
“ Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu” (QS. Al-Hasyr: 7).
Konsep Islam tidak hanya mengedepankan aspek ekonomi, dimana ukuran berdasarkan atas jumlah harta kepemilikan, tetapi bagaimana distribusi penggunaan potensi kemanusiaannya yang berupa penghargaan hak hidup dalam kehidupan diutamakan. Distribusi harta tidak akan mempunyai dampak yang signifikan kalau tidak ada kesadaran antara manusia akan kesamaan hak hidup.
Islam telah menganjurkan untuk mengerjakan zakat, infaq, dan shodaqoh. Kemudian baitul maal membagikan kepada orang yang membutuhkan untuk meringankan masalah hidup orang lain dengan cara memberi bantuan langsung ataupun tidak langsung.
Islam tidak mengarahkan distribusi pendapatan yang sama rata, letak pemerataan dalam Islam adalah keadilan atas dasar maslahah; dimana antara satu orang dengan orang lain dalam kedudukan sama atau berbeda, mampu atau tidak mampu saling bisa menyantuni, menghargai dan menghormati peran masing-masing. Semua keadaan di atas akan terealisasi bila masing-masing individu sadar terhadap eksistensinya di hadapan Allah SWT.

1.2. Dampak Distribusi Pendapatan Dalam Islam
1. Dalam konsep Islam perilaku distribusi pendapatan masyarakat merupakan bagian dari bentuk proses kesadaran masyarakat dalam mendekatkan diri kepada Allah. Oleh karena itu, distribusi dalam Islam akan menciptakan kehidupan yang saling menghargai dan menghormati antara satu dengan yang lain, karena antara satu dengan yang lain tidak akan sempurna eksistensinya sebagai manusia jika tidak ada yang lain.
2. Dalam Islam distribusi tidak hanya didasarkan optimalisasi dampak barang tersebut terhadap kemampuan orang tetapi pengaruh barang tersebut terhadap prilaku masyarakat yang mengkonsumsinya.
3. Negara bertanggung jawab terhadap mekanisme distribusi dengan mengedepankan kepentingan umum daripada kepentingan kelompok, atau golongan apalagi perorangan.
4. Negara mempunyai tanggung jawab untuk menyediakan fasilitas publik yang berhubungan dengan masalah optimalisasi distribusi pendapatan, seperti: sekolah, rumah sakit, lapangan kerja, dll. Sarana tersebut sebagai bentuk soft distribution yang digunakan untuk mengoptimalkan sumber daya yang berkaitan.

2. Distribusi Kekayaan
Kekayaan didefinisikan sebagai segala sesuatu yang bernilai ekonomi (berupa uang, barang atau hak cipta yang bersifat abstrak) yang dimiliki oleh seseorang, baik yang bersumber dari pendapatannya maupun simpanannya (harta).
Secara sederhana model dinamis kekayaan dapat dirumuskan dalam persamaan sebagai berikut :
Wt = mYt + sYt + iYt + Wt – 1 ; m + s+ I = 1
Dimana :
Wt = Kekayaan waktu t
Yt = Pedapatan waktu t
m = Bagian pendapatan yang dikonsumsikan
(meliputi pengeluaran sekunder/ tersier/ luxury)
St = Bagian pendapatan yang ditabung waktu t
I = Bagian pendapatan yang diinvestasikan
Wt-1 = Kekayaan waktu t-1

2.1. Konsep Distribusi Kekayaan dalam Islam
Dalam Islam memang diyakini bahwa Allah SWT memberikan harta pada seluruh ummat tidak merata. Ada yang mendapatkan harta melebihi kebutuhan hidupnya dan ada yang sedikit dibawah jumlah kebutuhan mereka sehingga diperlukan interaksi dalam distribusi harta. Dengan ketentuan kolektifitas yang dimiliki sistem ekonomi Islam kelangkaan menjadi bukan masalah.
“ Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian (tidak meminta)” (QS. Adz-Dzariyat: 19).
Dari ayat diatas, dapat disimpulkan bahwa Islam menjamin kehidupan tiap individu serta jamaah untuk tetap sebagai sebuah komunitas yang berpegang pada ketentuan yang ada. Akan tetapi apabila masyarakat berdiri di atas kesenjangan yang lebar antara individu yang lain dalam memenuhi kebutuhannya maka harus diwujudkan adanya keseimbangan antara individu dengan mengupayakan distribusi yang merata. Mekanisme kepemilikan terhadap sesuatu tidak dapat dilakukan oleh semua individu maka diperlukan sistem yang menjamin terjadinya distribusi dalam perekonomian.
Kekayaan merupakan amanah Allah yang diberikan kepada manusia untuk dipergunakan untuk kebaikan. Amanah bagi seorang muslim dipahami sebagai suatu kepercayaan Allah maka pemahaman amanah ini menjadikan seoarang muslim bersikap lebih arif dalam mengelola kekayaannya. Oleh karenanya, kekayaan yang dimiliki seorang muslim menjadi berkah bagi masyarakat disekitarnya. Allah berfirman:
“ Dan Allah melebihkan sebagian diantara kamu dari sebagian yang lain dalan hal rezeki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezekinya itu) tidak mau memberikan rezeki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezeki itu. Maka mengapa mereka mengingkari nikmat Allah?” (Q.S. An-Nahl: 71).

2.2. Larangan Menumpuk Kekayaan dalam Islam
Islam telah mewajibkan sirkulasi kekayaan terjadi pada semua anggota masyarakat, dan mencegah terjadinya sirkulasi kekayaan hanya pada segelintir orang. Allah berfirman:
“ Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu” (QS. Al-Hasyr: 7).
Ketika terjadi kesenjangan, negara harus memecahkannya dengan cara mewujudkan keseimbangan dalam masyarakat, dengan cara memberikan harta negara yang menjadi hak miliknya kepada orang-orang yang memiliki keterbatasan dalam memenuhi kebutuhannya.
Atas dasar inilah, negara harus memberikan harta, baik yang bergerak maupun yang tetap. Sebab, maksud pemberian harta tersebut bukan sekedar memenuhi kebutuhan yang bersifat temporer sebagai sarana untuk memenuhi kepemilikan atas kekayaan yang dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut.
Apabila negara tidak mempunyai harta maka negara tidak boleh memungut harta dari hak milik rakyat. Oleh karena itu, negara tidak boleh memungut pajak dalam rangka mewujudkan keseimbangan tersebut.
Pemenuhan kebutuhan dasar dan penjaminan kelancarannya dalam perekonomian menjadi faktor penentu kestabilan ekonomi, politik dan sosial dalam kehidupan manusia. Peran pemerintah atau negara juga penting dalam memastikan kelancaran distribusi, dalam hal ini memberikan kebijakan atau instrumen dalam memastikan distribusi dapat berlangsung dan tepat sasaran.

2.3. Perbedaan Penimbunan / Penumpukan Harta, Tabungan (saving), dan Investasi
Penimbunan berarti mengumpulkan uang satu dengan uang yang lain tanpa ada kebutuhan, dimana penimbunan tersebut akan menarik uang dari pasar. Mengumpulkan harta semacam ini termasuk kategori tindakan yang dicela, yang pelakunya telah diancam oleh Allah dengan adzab yang pedih. Allah SWT berfirman:
“ Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih ” (QS. At-Taubah: 34).
Saving adalah menyimpan uang karena adanya kebutuhan, semisal mengumpulkan uang untuk membangun rumah, untuk menikah, membeli pabrik, membuka bisnis ataupun untuk keperluan yang lain. Bentuk pengumpulan uang semacam ini tidak akan mempengaruhi pasar, dan tidak akan mempengaruhi aktivitas perekonomian, sebab tindakan tersebut bukan merupakan tindakan menarik uang, namun hanya mengumpulkan uang untuk dibelanjakan, dimana uang – yang dikumpulkan – tersebut akan beredar kembali ketika dibelanjakan pada objek pembelanjaannya.
Investasi adalah harta seseorang yang jumlahnya dapat berkurang atau bertambah yang diputarkan atau ditanamkan dalam berbagai usaha. Tabungan dan investasi perbedaannya dapat dilihat dari sifat likuidnya. Tabungan cenderung sangat likuid sedangkan investasi relatif tidk likuid.














BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Islam mengakui kehidupan individu dan masyarakat saling berkaitan antara satu dengan yang lain. Masyarakat akan menjadi faktor yang dominan dalam membentuk sikap individu sehingga karakter individu banyak dipengaruhi oleh karakter masyarakat. Demikian juga sebaliknya, tidak akan terbentuk karakter masyarakat yang khas tanpa keterlibatan dari individu-individu.
Dalam Islam hubungan individu dan masyarakat ini berpengaruh besar untuk membangun peradaban manusia di masa depan. Untuk itu mendapatkan peradaban yang baik di masa depan , Islam menganjurkan untuk bersikap baik dalam membangun masyarakat. Allah berfirman:
“ Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat berat siksanya” (Q.S. Al-Maidah: 2)
Allah memberikan harta (rezeki) kepada seluruh umat tidak merata. Hal ini tentu bukan bentuk ketidakadilan Allah, namun ini adalah sebuah sunatullah yang justru sebagai bentuk kasih sayang-Nya terhadap hamba-Nya. Dari ketidakmerataan inilah, sebagaimana firman allah yang telah disebutkan diatas, umat manusia di wajibkan saling tolong menolong, dalam hal ini orang yang berkecukupan harta wajib menolong orang yang kekurangan harta. Salah satunya dengan menjalankan distribusi pendapatan dan kekayaan yang dalam konsep islam dinamakan mekanisme zakat.


B. Saran
Setelah penyusun memaparkan isi dari makalah ini, maka izinkanlah penyusun memberikan sedikit saran yang mudah-mudahan dapat bermanfaat.
1. Kepada masyarakat, penyusun menyarankan agar dalam menyikapi harta sesuai dengan syariah islam, tidak menjadikan harta segala-galanya dalam hidup sehingga bisa terhindar dari tindakan penimbunan harta yang berakibat buruk bagi pasar.
2. Kepada pemerintah sebagai regulator, penyusun menyarankan agar senantiasa berupaya menciptakan kesejahteraan rakyatnya sehingga tidak terjadi kesenjangan ekonomi yang lebar di masyarakat.

makalah PPN DAN PPNBM

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. Dalam bahasa Inggris, PPN disebut Value Added Tax (VAT) atau Goods and Services Tax (GST). PPN termasuk jenis pajak tidak langsung, maksudnya pajak tersebut disetor oleh pihak lain (pedagang) yang bukan penanggung pajak atau dengan kata lain, penanggung pajak (konsumen akhir) tidak menyetorkan langsung pajak yang ia tanggung.
Mekanisme pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN ada pada pihak pedagang atau produsen sehingga muncul istilah Pengusaha Kena Pajak yang disingkat PKP. Dalam perhitungan PPN yang harus disetor oleh PKP, dikenal istilah pajak keluaran dan pajak masukan. Pajak keluaran adalah PPN yang dipungut ketika PKP menjual produknya, sedangkan pajak masukan adalah PPN yang dibayar ketika PKP membeli, memperoleh, atau membuat produknya.
Indonesia menganut sistem tarif tunggal untuk PPN, yaitu sebesar 10 persen. Dasar hukum utama yang digunakan untuk penerapan PPN di Indonesia adalah Undang-Undang No. 8/1983 berikut revisinya, yaitu Undang-Undang No. 11/1994 dan Undang-Undang No. 18/2000.
Barang tidak kena PPN
• Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, meliputi:
1. Minyak mentah.
2. Gas bumi.
3. Panas bumi.
4. Pasir dan kerikil.
5. Batu bara sebelum diproses menjadi briket batu bara.
6. Bijih timah, bijih besi, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak, dan bijih bauksit.
Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat
Objek Pajak Pertambahan Nilai
Apabila ditinjau dari jenis penyerahan yang menjadi objek PPN, maka terdapat 6 (enam) jenis PPN. Dari keenam jenis PPN, 2 (dua) jenis di antaranya dibatasi dengan unsur untuk dapat mengenakan PPN, yaitu PPN Barang dan PPN Jasa.
Unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk dapat dikenakan PPN adalah:
1. adanya penyerahan;
2. yang diserahkan adalah Barang Kena Pajak (BKP);
3. yang menyerahkan adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP);
4. penyerahannya harus di Daerah Pabean, yaitu daerah Republik Indonesia;
5. PKP yang menyerahkan harus dalam lingkungan perusahaan /pekerjaannya terhadap barang yang dihasilkan.
Penyerahan yang dikenakan PPN meliputi:
1. penyerahan hak karena suatu perjanjian;
2. pengalihan barang karena suatu perjanjian sewa-beli dan perjanjian leasing;
3. penyerahan kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang;
4. pemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma;
5. penyerahan likuidasi atas aktiva yang tujuan semula tidak untuk diperjuabelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran, sepanjang PPN sewaktu memperoleh aktiva dapat dikreditkan menurut perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan;
6. penyerahan dari cabang ke cabang lainnya, atau dari pusat ke cabang atau sebaliknya;
7. penyerahan secara konsinyasi.

Menghitung PPN Pajak Masukan
Sasaran Pajak Pertambahan Nilai bukan harga jual atau penggantian, atau nilai impor, atau nilai ekspor, melainkan nilai tambah atas penyerahan BKP, atau pemberian JKP dan seterusnya. Tetapi untuk mencari nilai tambah tidak semudah diduga, bahkan sulit, karena antara barang yang dibeli tidak harus sama dengan barang yang dijual dan faktor lainnya. Untuk memudahkan dalam perhitungannya maka yang ditunjuk sebagai dasar pengenaan adalah harga jual untuk PPN Barang, penggantian untuk PPN Jasa, Nilai Impor untuk impor barang dan sebagainya. Tetapi pelaksanaannya menimbulkan pajak berganda.

Untuk menghindari pemungutan pajak berganda dapat dilakukan beberapa cara, yaitu:
1. menerapkan kredit PPN atas bahan baku atau bahan pembantu termasuk faktor produksi lainnya;
2. mencari nilai tambah pada setiap produksi;
3. menerapkan tarif yang berbeda-beda dengan memperhatikan tingkat tahapan produksi seperti barang jadi, barang setengah jadi dan barang esensial;
4. menentukan dasar pengenaan dengan memperhatikan pertambahan nilainya;
5. menerapkan pemungutan sekali.
Mengkredit Pajak Masukan
Yang melatarbelakangi sistem kredit pajak adalah upaya untuk menghindari pengenaan pajak berganda, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai bahwa sasaran pengenaannya adalah pertambahan nilai. Sedangkan untuk menghitung besarnya pertambahan nilai untuk setiap unit produksi adalah sulit sekali. Oleh karena itu, untuk memudahkan (menyederhanakan) cara perhitungan pajaknya maka ditetapkan harga jual sebagai dasar pengenaan, dengan ketentuan bahwa PPN yang terutang dan telah dibayar sewaktu membeli Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dikreditkan dari PPN yang akan dibayar sewaktu melakukan penjualan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak.
Meskipun demikian, agar tercegah adanya pengkreditan pajak yang tidak semestinya, maka tidak setiap pajak masukan dapat dikreditkan, melainkan terbatas yang telah memenuhi persyaratan.
Melalui sistem pengkreditan pajak masukan tersebut, akan menghasilkan 3 (tiga) alternatif:
1. masih harus membayar PPN, dalam hal pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan;
2. terjadi kelebihan pembayaran pajak, dalam hal Pajak Keluaran lebih kecil daripada Pajak Masukan;
3. tidak kurang bayar dan tidak terjadi kelebihan pembayaran PPN, dalam Pajak Keluaran sama dengan Pajak Masukan.
4. Latar Belakang Diberlakukannya Pajak Penjualan atas Barang Mewah
5. Setiap pemungutan pajak termasuk pemungutan Pajak Pertambahan Nilai diharapkan mencerminkan keadilan baik secara horizontal maupun vertikal. Untuk mencapai sasaran agar pemungutan Pajak Pertambahan Nilai mencerminkan keadilan tersebut maka diberlakukan pemungutan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), di samping diberlakukan tarif proporsional dan progresif.
MEKANISME PEMBAYARAN PPN
Pembayaran PPN dapat dilakukan dengan cara menitipkan uang pajak kepada pihak penjual (pihak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak) yang telah berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak, atau dengan cara membayarkannya secara langsung ke negara.
1. Pembayaran PPN dengan Menitipkan Ke Pihak Penjual
Pembayaran PPN dengan cara menitipkan uang pembayarannya kepada pihak penjual, yaitu pihak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dan telah berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak, dilakukan dalam hal terjadi konsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak oleh siapapun dari pihak penjual atau pihak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak tersebut. Cara seperti ini merupakan cara yang paling umum dilakukan dan dikenal dengan mekanisme umum. Dengan mekanisme ini, pihak penjual atau pihak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak tersebut akan mendapatkan aliran uang masuk (cash inflow) berupa Pajak Pertambahan Nilai (Pajak Keluaran). Pajak Keluaran yang telah diterima dan merupakan cash inflow tersebut, akan disetorkan atau tidak disetorkan ke negara, tergantung kepada hasil pertandingan antara Pajak Keluaran tersebut dengan Pajak Masukan atau Cash Outflow.
Pembayaran PPN Secara Langsung ke Negara
Mekanisme pembayaran Pajak Pertambahan Nilai dengan cara membayarkan secara langsung ke negara, dilakukan apabila:
a. Dalam hal Pengusaha Kena Pajak menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak kepada Instansi Pemerintah, dimana instansi pemerintah tidak menitipkan uang pembayaran PPN kepada pihak penjual, melainkan langsung menyetorkannya ke negara;
b. Dalam hal terjadi impor Barang Kena Pajak, dimana pihak yang melakukan impor akan membayar PPN secara langsung ke negara sebagai bagian dari persyaratan untuk menebus Barang Kena Pajak yang diimpornya;
c. Dalam hal terjadi pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean, dimana pihak yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak akan menyetor sendiri PPN yang terutang dengan menggunakan Surat Setoran Pajak yang berfungsi sebagai Faktur Pajak Standar;
d. Dalam hal terjadi pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean, dimana pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud tersebut akan menyetor sendiri PPN yang terutang dengan menggunakan Surat Setoran Pajak yang berfungsi sebagai Faktur Pajak Standar;
e. Dalam hal terjadi kegiatan membangun bangunan yang dilakukan sendiri, apabila persyaratan-persyaratannya dipenuhi;
f. Dalam hal terjadi penyerahan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, apabila persyaratan-persyaratannya dipenuhi;
g. Dalam hal SPT Masa PPN berstatus kurang bayar yang disebabkan oleh jumlah Pajak Keluaran yang lebih besar dibandingkan dengan jumlah Pajak Masukan, dimana batas paling lambat untuk menyetorkan selisihnya (Pajak Keluaran –VS- Pajak Masukan) adalah pada tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya. Terdapat Pengusaha Kena Pajak tertentu yang Dasar Pengenaan Pajaknya menggunakan Nilai Lain, artinya jumlah Pajak Masukannya dianggap (deemed) selalu lebih kecil dibandingkan dengan jumlah Pajak Keluarannya, sehingga SPT Masa PPN-nya selalu berstatus kurang bayar.
Pajak Pertambahan Nilai

KARAKTERISTIK PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
Sebagai pajak yang dikenakan terhadap kegiatan konsumsi, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut:
1. Pajak Obyektif
PPN tergolong sebagai pajak yang obyektif, karena penekanannya mula-mula kepada obyeknya terlebih dahulu, baru kemudian kepada subyeknya. Siapapun subyeknya (masyarakat yang mampu maupun yang kurang mampu), akan dikenakan PPN, selama mereka mengonsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, di dalam daerah pabean. Perlakuan PPN yang sama terhadap semua kelompok masyarakat inilah, baik yang miskin maupun yang kaya, yang menimbulkan sifat tidak adil. Kelemahan ini kemudian diatasi dengan pemberian pajak tambahan yaitu Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) terhadap konsumsi atas BKP tertentu yang digolongkan oleh pemerintah sebagai BKP mewah, yang umumnya hanya dikonsumsi oleh golongan masyarakat yang telah mampu secara ekonomi.
Mekanisme Pengkreditan
Setiap akhir masa pajak, Pengusaha Kena Pajak akan melaporkan SPT Masa PPN yang merupakan tempat untuk mempertandingkan antara Pajak Keluaran dengan Pajak Masukan. Pajak Masukan menimbulkan aliran uang keluar atau cash outflow, sedangkan pajak keluaran menimbulkan aliran uang masuk atau cash inflow. Pajak Masukan merupakan uang muka pajak, sedangkan pajak keluaran merupakan hutang pajak. Saldo keduanya akan saling dioffset, di dalam SPT Masa PPN, setelah masa pajak berakhir, dan akan menghasilkan tiga kemungkinan: Pertama, akan menghasilkan kekurangan pembayaran pajak apabila jumlah Pajak Keluaran atau Cash Inflow melebihi jumlah Pajak masukan atau Cash Outflow; Kedua, akan menghasilkan kelebihan pembayaran pajak apabila jumlah Pajak Masukan atau Cash Outflow melebihi jumlah Pajak Keluaran atau Cash Inflow. Ketiga, akan menghasilkan jumlah nihil apabila jumlah Pajak Keluaran atau Cash Inflow sama dengan jumlah Pajak Masukan atau Cash Outflow.
Pemahaman mengenai cash inflow untuk Pajak Keluaran dan Cash Outflow untuk Pajak Masukan ini menjelaskan mengapa untuk transaksi penyerahan BKP/JKP kepada Instansi Pemerintah dan ekspor akan menimbulkan kelebihan bayar PPN. Hal ini dikarenakan Pajak Keluarannya tidak menimbulkan uang masuk (cash inflow), yang akan bertanding dengan Pajak Masukan yang telah menimbulkan aliran uang keluar (cash outflow). Tetapi, untuk transaksi-transaksi tertentu yang TIDAK PERNAH menimbulkan Pajak Keluaran sehingga tidak menimbulkan aliran uang masuk (zero cash inflow), Pajak Masukannya (cash outflow) juga tidak dapat dikreditkan, yaitu, pertama, transaksi penyerahan bukan Barang Kena Pajak atau bukan Jasa Kena Pajak yang tidak terutang PPN. Kedua, transaksi penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang mendapatkan fasilitas di bidang PPN, seperti penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang mendapat fasilitas PPN dibebaskan, ditunda, ditangguhkan, atau ditanggung pemerintah. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari kelebihan bayar Pajak Pertambahan Nilai.
FAKTUR PAJAK STANDAR CACAT

Faktur pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh pengusaha kena pajak yang melakukan penyerahan barang kena pajak atau penyerahan jasakena pajak atau bukti pungutan pajak karena impor barang kena pajak yang digunakan oleh Direktorat jenderal Pajak. Bagi pengusaha kena pajak (PKP) faktur pajak ini merupakan bukti dari pemenuhan kewajiban perpajakannya. Bagi pembeli atau penerima jasa faktur pajak ini digunakan sebagai sarana pengkreditan pajak masukan.
Faktur pajak dapat digunakan sebagai sarana pengkreditan jika faktur pajak tersebut tidak cacat. Oleh karena itu penting bagi kita untuk mengetahui bilamana faktur pajak itu dinyatakan sebagai faktur pajak yang cacat. Berikut ini adalah cirri-ciri faktur pajak standar:
1. Diisi dengan data yang tidak benar
Pengisisan data yang tidak benar bias berupa NPWP salah, nomor seri faktur pajak yang tidak benar. Data yang tidak benar juga bias karena kesalahan penulisan nama pembeli atau nama perusahaan yang tercantum dalam faktur pajak.
2. Diisi tidak lengkap
Pengisian faktur pajak standar tidak lengkap karena ada kolom atau barus yang ternyata tidak diisi kecuali kolom “PPnBM” yang disediakan untuk diisi oleh pabrikan atau importir Barang Kena Pajak (BKP) yang tergolong mewah. Pengisian tidak lengkap dapat berupa:
• Baris “NPWP” pembeli BKP atau penerima JKP tidak diisi
• “jabatan” penandatangan faktur pajak tidak diisi
• Pada baris “jumlah harga jual/penggantian/uang muka/termijn” tidak dicoret pada bagian kalimat yang tidak perlu sebagaimana diminta dalam catatan bagian bawah sebelah kiri.
• Tanda tangan menggunakan cap tanda tangan
• Dalam lampiran II butir 13 Keputusan Direktur Jenderal Pajak nomor KEP-549/PJ./2000 digariskan bahwa cap tanda tangan tidak diperkenankan dibubuhkan pada faktur pajak.
3. Pengisian atau pembetulan dilakukan dengan cara yang tidak benar
4. Faktur pajak dibuat melampaui batas waktu yang telah ditentukan
Mengenai batas waktu pembuatan faktur pajak akan dibahas dalam tulisan yang lain
5. Faktur pajak dibuat oleh pengusaha yang belum atau tidak dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP)
Berdasarkan pasal 14 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN 1984) orang atau badan yang tidak dikukuhkan sebagai PKP dilarang untuk membuat faktur pajak. Faktur pajak yang dibuat oleh pengusaha non PKP secara yuridis tidak sah. Oleh karena itu pajak masukan yang tercantum di dalamnya tidak dapat dikreditkan leh PKP pembeli atau penerima JKP. Bahkan bagi pengusaha yang belum dikukuhkan sebagai PKP namun menerbitkan faktur pajak maka menurut Ketentuan Umum Perpajakan akan dikenai sanksi pidana sebagaimana diatur dalam pasal 39A sebagai berikut yang intinya adalah bahwa Setiap orang yang dengan sengaja menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dipidana dengan pidana penjara paling sedikit 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun serta denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dan paling banyak 6 (enam) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.

Tarif Pajak Dan Cara Menghitung PPN/PPnBM
Berapa tarif PPN/PPnBM ?
1. Tarif PPN adalah 10% (sepuluh persen)
2. Tarif PPn BM adalah serendah-rendahnya 10% (sepuluh persen) dan setinggi-tingginya 50% (lima puluh persen).
Perbedaan kelompok tarif tersebut didasarkan pada pengelompokan Barang Kena Pajak (BKP) yang tergolong mewah yang atas penyerahan/impor BKP-nya dikenakan PPn BM.
3. Tarif PPN/ PPn BM atas ekspor BKP adalah 0% (nol persen).
Apa saja yang termasuk DPP ?
1. Harga jual/ penggantian
Adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual/ pembeli jasa karena penyerahan BKP/ Jasa Kena Pajak (JKP), tidak termasuk PPN/ PPn BM dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
2. Nilai Impor
Adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan Bea Masuk ditambah pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan Pabean untuk Impor BKP, tidak termasuk PPN/ PPn BM.
3. Nilai Ekspor
Adalah nilai berupa uang, termasuk semau biaya yang diminta oleh Eksportir.
4. Nilai lain
Adalah nilai yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang.
Nilai lain tersebut diatur oleh Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 642/KMK.04/1994 tanggal 29 Desember 1994 :
a. Untuk pemakaian sendiri/ pemberian cuma-cuma BKP dan/atau JKP adalah harga jual atau penggantian, tidak termasuk laba kotor
b. Untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah perkiraan harga jual rata-rata;
c. Untuk penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil rata-rata per judul film;
d. Untuk persedian BKP yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan adalah harga pasar wajar;
e. Untuk aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjual belikan yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan adalah harga pasar wajar;
f. Untuk penyerahan jasa biro perjalanan/ parawisata adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih;
g. Untuk jasa pengiriman paket adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih.
h. Untuk PKP Pedagang Eceran (PE) :
o PPN yang terutang adalah sebesar 10% (sepuluh persen) x harga jual BKP.
o PPN yang harus dibayar adalah sebesar : 10%x20%x jumlah seluruh barang dagangan.
i. Jasa anjak piutang adalah 5% dari seluruh jumlah imbalan yang diterima berupa service charge, provisi, dan diskon.
Bagaimana cara menghitung PPN ?
PPN yang terutang = tarif x DPP
PPN yang terutang merupakan Pajak Keluaran (PK) yang dipungut oleh PKP penjual dan merupakan Pajak Masukan bagi PKP pembeli.

Contoh :
1. PKP "A" bulan Januari 1996 menjual tunai kepada PKP "B"
100 pasang sepatu @ Rp.100.000,00 = Rp.10.000.000,00
PPN terutang yang dipungut oleh PKP"A"
10% x Rp.10.000.000,00 = Rp. 1.000.000,00
Jumlah yang harus dibayar PKP "B" = Rp.11.000.000,00
2. PKP "B" dalam bulan Januari 1996 :
o Menjual 80 pasang sepatu @ Rp.120.000,00 = Rp. 9.600.000,00
o Memakai sendiri 5 pasang sepatu untuk pemakaian sendiri,
DPP adalah harga jual tanpa menghitung laba kotor, yaitu Rp 100.000,- per pasang = Rp 500.000,00
PPN yang terutang :
o Atas penjualan 80 pasang sepatu
10% x Rp.9.600.000,00 = Rp 960.000,00
o Atas pemakai sendiri
10% x Rp.500.000,00 = Rp 50.000,00
Jumlah PPN terutang = Rp 1.010.000,00

3. PKP Pedagang Eceran (PE) "C" menjual
o BKP seharga = Rp.10.000.000,00
o Bukan BKP = Rp. 5.000.000,00
Rp.15.000.000,00
PPN yang terutang
10% x Rp.10.000.000,00 = Rp. 1.000.000,00
PPN yang harus disetor
10% x 20% x Rp.15.000.000,00 = Rp. 300.000,00
4. PKP "D" pabrikan yang menghasilkan mesin cuci pakaian. Mesin cuci pakaian dikategorikan sebagai BKP yang tergolong mewah dan dikenakan PPn BM dengan tarif sebesar 20%. Dalam bulan Januari 1996 PKP "D" menjual 10 buah mesin cuci kepada PKP "E" seharga Rp.30.000.000,00.
o PPN yang terutang
10% x Rp.30.000.000,00 = Rp 3.000.000,00
o PPn BM yang terutang
20% x Rp. 30.000.000,000 = Rp 6.000.000,00
PPN dan PPn BM yang terutang PKP "D" = Rp. 9.000.000,00
5. PKP "E" bulan Januari 1996 menjual 10 buah mesin cuci tersebut diatas seharga Rp.40.000.000,00
PPN yang terutang
10% x Rp.40.000.000,00 = Rp. 4.000.000,00
Catatan :
PKP "E" tidak boleh memungut PPn BM, karena PKP "E" bukan pabrikan dan PPn BM dikenakan hanya sekali.
[
Tata Cara Pembayaran Dan Pelaporan PPN/PPnBM
Siapa saja yang wajib membayar/menyetor & melaporkan PPN/PPnBM ?
1. Pengusaha Kena Pajak (PKP)
2. Pemungut PPN/PPn BM, adalah :
o KPKN
o Bendaharawan Pemerintah Pusat dan Daerah
o Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
o Pertamina
o BUMN/ BUMD
o Kontraktor Bagi Hasil dan Kontrak Karya bidang Migas dan Pertambangan Umum lainnya
o Bank Pemerintah
o Bank Pembangunan Daerah
o Perusahaan Operator Telepon Selular.
Apa saja yang wajib disetor oleh PKP dan pemungut PPN & PPnBM ?
1. Oleh PKP adalah :
a. PPN yang dihitung sendiri melalui pengkreditan Pajak Masukan dan Pajak Keluaran.Yang disetor adalah selisih Pajak Masukan dan Pajak Keluaran, bila Pajak Masukan lebih kecil dari Pajak Keluaran.
b. PPn BM yang dipungut oleh PKP Pabrikan Barang Kena Pajak (BKP) yang tergolong mewah.
c. PPN/ PPn BM yang ditetapkan oleh DJP dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), dan Surat Tagihan Pajak (STP).
2. Oleh Pemungut PPN/PPn BM adalah PPN/PPn BM yang dipungut oleh Pemungut PPN/ PPn BM
Dimana tempat pembayaran/penyetoran pajak ?
1. Kantor Pos dan Giro
2. Bank Pemerintah, kecuali BTN
3. Bank Pembangunan Daerah
4. Bank Devisa
5. Bank-bank lain penerima setoran pajak
6. Kantor Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Khusus untuk impor tanpa LKP
Kapan saat pembayaran/penyetoran PPN/PPnBM ?
1. PPN dan PPn BM yang dihitung sendiri oleh PKP harus disetorkan paling lambat tanggal 15 bulan takwim berikutnya setelah bulan Masa Pajak.
Contoh : Masa Pajak Januari 1996, penyetoran paling lambat tanggal 15 Pebruari 1996.
2. PPN dan PPn BM yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP harus dibayar/ disetor sesuai batas waktu yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP tersebut.
3. PPN/ PPn BM atas Impor, harus dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk, dan apabila pembayaran Bea Masuk ditunda/ dibebaskan, harus dilunasi pada saat penyelesaian dokumen Impor.
4. PPN/PPn BM yang pemungutannya dilakukan oleh:
a. a. Bendaharawan Pemerintah, harus disetor selambat-lambatnya tanggal 7 bulan takwim berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
b. b. Pemungut PPN selain Bendaharawan Pemerintah, harus disetor selambat-lambatnya tanggal 15 bulan takwim berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
c. c. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang memungut PPN/ PPn BM atas Impor, harus menyetor dalam jangka waktu sehari setelah pemungutan pajak dilakukan.
5. PPN dari penyerahan gula pasir dan tepung terigu oleh Badan Urusan Logistik (BULOG), harus dilunasi sendiri oleh PKP sebelum Surat Perintah Pengeluaran Barang (D.O) ditebus.
Catatan:
Apabila tanggal jatuh tempo pembayaran jatuh pada hari libur, maka pembayaran harus dilaksanakan pada hari kerja berikutnya.




Kapan saat pelaporan PPN/PPnBM ?
1. PPN dan PPn BM yang dihitung sendiri oleh PKP, harus dilaporkan dalam SPT Masa dan disampaikan kepada Kantor Pelayanan Pajak setempat selambat-lambatnya 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.
2. PPN dan PPn BM yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP yang telah dilunasi segera dilaporkan ke KPP yang menerbitkan.
3. PPN dan PPn BM yang pemungutannya dilakukan oleh :
a. Bendaharawan Pemerintah harus dilaporkan selambat-lambatnya 14 hari setelah Masa Pajak berakhir.
b. Pemungut Pajak Pertambahan Nilai selain Bendaharawan Pemerintah harus dilaporkan selambat-lambatnya 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.
c. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atas Impor, harus dilaporkan secara mingguan selambat-lambatnya 7 hari setelah batas waktu penyetoran pajak berakhir.
4. Untuk penyerahan gula pasir dan tepung terigu oleh BULOG, maka PPN dan PPn BM dihitung sendiri oleh PKP, harus dilaporkan dalam SPT Masa dan disampaikan kepada KPP setempat selambat-lambatnya 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.
Catatan :
Apabila tanggal jatuh tempo pelaporan jatuh pada hari libur, maka pelaporan harus dilaksanakan pada hari kerja sebelum tanggal jatuh tempo.

Apa sarana yang digunakan untuk melakukan pembayaran/penyetoran pajak?
1. Untuk membayar/menyetor PPN dan PPn BM digunakan formulir Surat Setoran Pajak yang tersedia gratis di Kantor-kantor Pelayanan Pajak dan Kantor-kantor Penyuluhan Pajak di seluruh Indonesia.
2. Surat Setoran Pajak menjadi lengkap dan sah bila jumlah PPN/PPnBM yang disetorkan telah diberi teraan oleh : Bank, Kantor Pos dan Giro, atau Kantor Direktorat Jenderal Bea dan Cukai penerima setoran.
PPNBM
PPnBM merupakan jenis pajak yang merupakan satu paket dalam Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai. Namun demikian, mekanisme pengenaan PPnBM ini sedikit berbeda dengan PPN. Berdasarkan Pasal 5 Ayat (1) Undang-undang PPN, Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dikenakan terhadap :
1. penyerahan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah yang dilakukan oleh Pengusaha yang menghasilkan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah di dalam Daerah Pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya;
2. impor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah.
Dengan demikian, PPnBM hanya dikenakan pada saat penyerahan BKP Mewah oleh pabrikan (pengusaha yang menghasilkan) dan pada saat impor BKP Mewah. PPnBM tidak dikenakan lagi pada rantai penjualan setelah itu. Adapun fihak yang memungut PPnBM tentu saja pabrikan BKP Mewah pada saat melakukan penyerahan atau penjualan BKP Mewah. Sementara itu, PPnBM atas impor BKP mewah dilunasi oleh importir berbarengan dengan pembayaran PPN impor dan PPh Pasal 22 Impor.
Dasar Pertimbangan Pengenaan PPnBM
1. perlu keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan rendah dengan konsumen yang berpenghasilan tinggi;
2. perlu adanya pengendalian pola konsumsi atas Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah;
3. perlu adanya perlindungan terhadap produsen kecil atau tradisional;
4. perlu untuk mengamankan penerimaan negara;
Pengertian BKP Mewah
1. bahwa barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok; atau
2. barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu; atau
3. pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi; atau
4. barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status; atau
5. apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta mengganggu ketertiban masyarakat, seperti minuman beralkohol.
Pengertian Menghasilkan
PPnBM dikenakan pada saat Pengusaha yang menghasilan BKP Mewah menyerahkan kepada fihak lain. Termasuk dalam pengertian menghasilkan adalah sebagai berikut ;
1. merakit : menggabungkan bagian-bagian lepas dari suatu barang menjadi barang setengah jadi atau barang jadi, seperti merakit mobil, barang elektronik, perabot rumah tangga, dan sebagainya;
2. memasak : mengolah barang dengan cara memanaskan baik dicampur bahan lain atau tidak;
3. mencampur : mempersatukan dua atau lebih unsur (zat) untuk menghasilkan satu atau lebih barang lain;
4. mengemas : menempatkan suatu barang ke dalam suatu benda yang melindunginya dari kerusakan dan atau untuk meningkatkan pemasarannya;
5. membotolkan : memasukkan minuman atau benda cair ke dalam botol yang ditutup menurut cara tertentu;
Tarif, Kelompok dan Jenis BKP Mewah
Berdasarkan Pasal 8 Undang-undang PPN, ditentukan :
1. Tarif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah adalah paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen).
2. Atas ekspor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah dikenakan pajak dengan tarif 0% (nol persen).
3. Dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan kelompok Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah yang dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
4. Jenis Barang yang dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah atas Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.”
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN DAN PPN BM)
Minggu, 1 Maret 2009 22:42:17 - oleh : admin
Jatuh tempo : Menyetor tanggal 15 bulan berikutnya
Melapor tanggal 20 bulan berikutnya
Mata Rantai Harga Jual Pajak Keluaran Pajak Masukan PPN
Pabrik (PT. X) Rp 100,000 Rp 10,000 Rp 10,000
¯
Distributor (PT. Y) Rp 250,000 Rp 25,000 Rp 10,000 Rp 15,000
¯
Agen (PT. Q) Rp 350,000 Rp 35,000 Rp 25,000 Rp 10,000
¯
Pedagang Besar Rp 500,000 Rp 50,000 Rp 35,000 Rp 15,000
Konsumen Rp 50,000

Contoh soal :
Jasa kena pajak
PT. X membangun outlet dengan luas bangunan 200 m2 dengan biaya Rp 500.000.000,-
Jawaban :
DPP 40% x Rp 500.000.000 = Rp 200,000,000
PPN 10% x Rp 200.000.000 = Rp 20,000,000

PT. Samsung pabrik AC harga jual Rp 4.000.000,- termasuk PPN BM 20%
PPN = Rp 4.000.000 x 10% Rp 400,000
PPN BM = Rp 4.000.000 x 20% Rp 800,000
Harga Jual Rp 4,000,000
Yang harus dibayar Rp 5,200,000

Nilai Import
Cost insurance freigh (CIF) US$ 20.000
Nilai konversi Rp 9.500/US$
Bea masuk 20%
Jawaban :
Nilai import = US$ 20.000,- x Rp 9.500,- Rp 190,000,000
Bea masuk 20% x Rp 190.000.000,- Rp 38,000,000
DPP Rp 228,000,000
PPN 10% Rp 22,800,000
PPN BM 20% Rp 45,600,000
Yang harus dibayar Rp 68,400,000

Contoh soal :
PT. Korindo Motors mendapatkan tagihan dari PT. Suzuki atas pembelian mobil Rp 375.000.000,- termasuk PPN dan PPN BM 40%
PPN BM 50/150 x Rp 375.000.000,- = Rp 125,000,000
PPN 10/150 x Rp 375.000.000,- = Rp 25,000,000
Rp 150,000,000

Harga Rp 375,000,000
PPN BM Rp (125,000,000)
PPN Rp (25,000,000)
Rp 225,000,000






Tarif PPnBM
KELOMPOK BARANG KENA PAJAK YANG TERGOLONG MEWAH
BERUPA KENDARAAN BERMOTOR YANG DIKENAKAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH

Tarif
(%) Jenis Barang Kena Pajak

10 kendaraan bermotor untuk pengangkutan 10 (sepuluh) orang sampai dengan 15 (lima belas)orang termasuk pengemudi, dengan motor bakar cetus api atau nyala kompresi (diesel/semidiesel), dengan semua kapasitas isi silinder;
kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk pengemudi selain sedan atau station wagon, dengan motor bakar cetus api atau nyala kompresi (diesel/semi diesel) dengan sistem 1 (satu) gandar penggerak (4x2), dengan kapasitas isi silinder tidak lebih dari 1500 cc;

25 kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk pengemudi selain sedan atau station wagon, dengan motor bakar cetus api atau dengan nyala kompresi (diesel/semi diesel), dengan sistem 1 (satu) gandar penggerak (4x2), dengan kapasitas isi silinder lebih dari 1500 cc sampai dengan 2500 cc;
kendaraan bermotor dengan kabin ganda (double cabin), dalam bentuk kendaraan bak terbuka atau bak tertutup, dengan penumpang lebih dari 3 (tiga) orang termasuk pengemudi, dengan motor bakar cetus api atau nyala kompresi (diesel/semi diesel), dengan sistem 1 (satu) gandar penggerak (4x2) atau dengan sistem 2 (dua) gandar penggerak (4x4), dengan semua kapasitas isi silinder, dengan massa total tidak lebih dari 5 (lima) ton.

30 kendaraan bermotor sedan atau station wagon dengan motor bakar cetus api atau nyala kompresi (diesel/semi diesel), dengan kapasitas isi silinder sampai dengan 1500 cc;
kendaraan bermotor selain sedan atau station wagon dengan motor bakar cetus api atau nyala kompresi (diesel/semi diesel), dengan sistem 2 (dua) gandar penggerak (4x4), dengan kapasitas isi silinder sampai dengan 1500 cc.

50 kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk pengemudi selain sedan atau station wagon, dengan motor bakar cetus api, dengan sistem 1 (satu) gandar penggerak (4x2), dengan kapasitas isi silinder lebih dari 2500 cc sampai dengan 3000 cc;
kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk pengemudi dengan motor bakar cetus api, berupa sedan atau station wagon dan selain sedanatau station wagon, dengan sistem 2 (dua) gandar penggerak (4x4), dengan kapasitas isi silinder lebih dari 1500 cc sampai dengan 3000 cc;
kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk pengemudi dengan motor bakar nyala kompresi (diesel/semi diesel), berupa sedan atau station wagon dan selain sedan atau station wagon, dengan sistem 2 (dua) gandar penggerak (4x4), dengan kapasitas isi silinder lebih dari 1500 cc sampai dengan 2500 cc; dan
semua jenis kendaraan khusus yang dibuat untuk golf.

60 kendaraan bermotor beroda dua dengan kapasitas isi silinder lebih dari 250 cc sampai dengan 500 cc; dan
kendaraan khusus yang dibuat untuk perjalanan di atas salju, di pantai, di gunung, dan kendaraan semacam itu.

75 kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk pengemudi, dengan motor bakar cetus api, berupa sedan atau station wagon dan selain sedanatau station wagon, dengan sistem 1 (satu) gandar penggerak (4x2) atau dengan sistem 2 (dua) gandar penggerak (4x4) dengan kapasitas isi silinder lebih dari 3000 cc;
kendaraan bermotor pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk pengemudi, dengan motor bakar nyala kompresi (diesel/semi diesel) berupa sedan atau station wagon dan selain sedan atau station wagon, dengan sistem 1 (satu) gandar penggerak (4x2) atau dengan sistem 2 (dua) gandar penggerak (4x4), dengan kapasitas isi silinder lebih dari 2500 cc;
kendaraan bermotor beroda 2 (dua) dengan kapasitas isi silinder lebih dari 500 cc;
trailer, semi-trailer dari tipe caravan, untuk perumahan atau kemah.


PPN DAN PPn BM DALAM TATA NIAGA KENDARAAN BERMOTOR

Sehubungan dengan adanya keragu-raguan dalam pelaksanaan ketentuan PPN di bidang tata niaga kendaraan bermotor, dengan ini diberikan beberapa penegasan sebagai berikut :
1. Dalam tataniaga kendaraan bermotor, mata rantai distribusi kendaraan bermotor pada umumnya melewati lini-lini sebagai berikut :
a. Lini I : Importir Umum/ATPM/Industri Perakitan.
b. Lini II : Distributor
c. Lini III : Dealer
d. Lini IV : Sub-Dealer/Showroom
2. Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-43/PJ.51/1989 tanggal 7 Agustus 1989 ditegaskan bahwa dalam rangka pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1988, setiap lini dalam distribusi kendaraan bermotor dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) kecuali lini IV (Sub-Dealer/Showroom) tidak dikukuhkan sebagai PKP karena statusnya sebagai Pedagang Pengecer.
3. Sesuai dengan ketentuan Pasal 37 jo. Pasal 38 Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1994 sebagaimana beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 1999, bahwa mulai tanggal 1 Januari 1995 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1988 tentang Pengenaan PPN atas Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) yang dilakukan oleh Pedagang Besar dan penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) disamping Jasa yang dilakukan oleh Pemborong, dinyatakan tidak berlaku.
4. Memperhatikan harga kendaraan bermotor saat ini, maka dalam tata niaga kendaraan bermotor tidak ada Pengusaha Kecil, karena jumlah peredaran usaha melebihi Rp. 240.000.000,00 dalam satu tahun buku. Oleh karena itu setiap Pengusaha pada seluruh lini distribusi kendaraan bermotor tersebut adalah Pengusaha Kena Pajak, termasuk Sub-dealer/Showroom.
5. Sebagai Pengusaha Kena Pajak, Pengusaha kendaraan bermotor berkewajiban untuk melakukan hak dan kewajibannya sebagai PKP, yaitu : memungut, menyetor dan melaporkan PPN dan/atau PPn BM yang terutang atas penyerahan kendaraan bermotor yang dilakukannya.
6. Diinstruksikan kepada seluruh Kepala Kantor Pelayanan Pajak untuk melakukan pengawasan kepatuhan dari masing-masing pihak yang terlibat dalam pendistribusian kendaraan bermotor yang terdaftar di KPP masing-masing.
7. Untuk mempermudah pemahaman mata rantai distribusi kendaraan bermotor ini, dapat digambarkan sebagai berikut:
IMPORTIR UMUM/INDUSTRI PERAKITAN/ATPM
(PKP)
------------------------------------------------------------------------
!!
!!
!!
!!



--------------------
DISTRIBUTOR
(PKP)
---------------------
!!
!!
!!
!!
-------------
DEALER ---------------------
(PKP)
-------------
------------------------------ ------------------------------------------
SUB-DEALER/SHOWROOM
(PKP)
------------------------------------------
!!
!!
!!
-------------------
KONSUMEN
-------------------
8. Untuk memperjelas mekanisme pemungutan PPN dan PPn BM, diberikan contoh penghitungan pada Lampiran I Surat Edaran ini.
9. Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak (kendaraan bermotor), tidak termasuk pajak yang dipungut menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994 dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
Berdasarkan ketentuan di atas, untuk mencegah akibat ganda pengenaan PPn BM, maka dalam menentukan Dasar Pengenaan Pajak atas penyerahan Barang Kena pajak yang sama pada rantai berikutnya (sesudah"Pabrikan"/Importir), unsur PPn BM (seperti halnya PPNnya)harus dikeluarkan dahulu
10. Dalam hal pembelian kendaraan bermotor dengan sistim on the road (langsung atas nama pembeli) maka Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), retribusi untuk Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNK) dan Buku Pemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB) tidak merupakan unsur Harga Jual yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak sepanjang BBNKB serta retribusi untuk STNK dan BPKB tersebut tidak dicantumkan dalam Faktur Pajak.
Diberikan contoh perhitungan pada lampiran 2 dan 3 Surat Edaran ini.
11.
a. PPN terutang pada saat terjadinya penyerahan kendaraan bermotor dari PKP (Importir Umum/ATPM/Industri
Perakitan/Distributor/Dealer/Sub-Dealer/Showroom). Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan kendaraan bermotor atau pembayaran uang muka, maka PPN terutang pada saat diterimanya pembayaran tersebut. Jumlah PPN yang terutang pada saat pembayaran uang muka tersebut dihitung secara proporsional dengan jumlah pembayarannya dan diperhitungkan dengan PPN yang terutang pada saat dilakukan penyerahan.
Contoh :
- Harga Jual kendaraan Bermotor Rp 165.000.000,- (termasuk PPN sebesar Rp 15.000.000,- (10%))
- Uang Muka diterima tanggal 10 Agustus 2000 sebesar Rp. 55.000.000,-
- Kendaraan akan diserahkan tanggal 20 September 2000 dengan kekurangan bayar sebesar Rp. 110.000.000,-
PPN terutang dan harus dipungut :
- Pada saat diterima uang muka tanggal 10 Agustus 2000, sebesar 10/110 x Rp 55.000.000,- = Rp 5.000.000,- dan harus dilaporkan pada SPT Masa PPN bulan Agustus 2000.
- Pada saat penyerahan kendaraan tanggal 20 September 2000, sebesar 10/110 x Rp 110.000.000,- = Rp 10.000.000,- dan harus dilaporkan pada SPT Masa PPN bulan September 2000.


b. Apabila atas penyerahan tersebut juga terutang PPn BM karena penyerahan dilakukan oleh Pemungut PPn BM ("Pabrikan"), maka dalam pembayaran uang muka yang diterima sebelum penyerahan kendaraan bermotor, terutang PPn BM disamping terutang PPN.

12. Contoh mekanisme pemungutan PPN dan PPn BM
a. Untuk kendaraan impor dalam keadaan CBU :
1) Importir Umum/Industri Perakitan/ATPM :
a) impor :
- Nilai Impor (DPP) : Rp. 200.000.000,-
- PPN (10%) : Rp. 20.000.000,- (Pajak Masukan)
- PPn BM (50%) : Rp. 100.000.000,-
------------------------
Harga Impor : Rp. 320.000.000,-

b) penyerahan :
- Harga Jual (DPP) : Rp. 220.000.000,-
- PPN (10%) : Rp. 22.000.000,- (Pajak Keluaran)
- PPn BM (50%) : Rp. 100.000.000,- (butir 1.a)
------------------------
Harga Penjualan : Rp. 342.000.000,-


2) Distributor :
a) Pembelian :
- Harga beli (DPP) : Rp. 220.000.000,-
- PPN (10%) : Rp. 22.000.000,- (Pajak Masukan)
- PPn BM (50%) : Rp. 100.000.000,- (butir 1.a)
------------------------
Harga Pembelian : Rp. 342.000.000,-

b) penyerahan :
- Harga Jual (DPP) : Rp. 240.000.000,-
- PPN (10%) : Rp. 24.000.000,- (Pajak Keluaran)
- PPn BM (50%) : Rp. 100.000.000,- (butir 1.a)
------------------------
Harga Penjualan : Rp. 364.000.000,-


3) Dealer :
a) Pembelian :
- Harga beli (DPP) : Rp. 240.000.000,-
- PPN (10%) : Rp. 24.000.000,- (Pajak Masukan)
- PPn BM (50%) : Rp. 100.000.000,- (butir 1.a)
------------------------
Harga Pembelian : Rp. 364.000.000,-

b) penyerahan :
- Harga Jual (DPP) : Rp. 260.000.000,-
- PPN (10%) : Rp. 26.000.000,- (Pajak Keluaran)
- PPn BM (50%) : Rp. 100.000.000,- (butir 1.a)
------------------------
Harga Penjualan : Rp. 386.000.000,-


4) Sub-Dealer/Showroom :
a) Pembelian :
- Harga beli (DPP) : Rp. 260.000.000,-
- PPN (10%) : Rp. 26.000.000,- (Pajak Masukan)
- PPn BM (50%) : Rp. 100.000.000,- (butir 1.a)
------------------------
Harga Pembelian : Rp. 386.000.000,-

b) penyerahan :
- Harga Jual (DPP) : Rp. 280.000.000,-
- PPN (10%) : Rp. 28.000.000,- (Pajak Keluaran)
- PPn BM (50%) : Rp. 100.000.000,- (butir 1.a)
------------------------
Harga Penjualan : Rp. 408.000.000,- (yang dibayar konsumen)



b. Untuk kendaraan impor dalam keadaan CKD atau produksi dalam negeri :
1) Importir Umum/Industri Perakitan/ATPM :
a) impor :
- Nilai Impor (DPP) : Rp. 150.000.000,-
- PPN (10%) : Rp. 15.000.000,- (Pajak Masukan)
- PPn BM (-%) : Rp. -,-
------------------------
Harga Impor : Rp. 165.000.000,-

b) penyerahan :
- Harga Jual (DPP) : Rp. 220.000.000,-
- PPN (10%) : Rp. 22.000.000,- (Pajak Keluaran)
- PPn BM (50%) : Rp. 110.000.000,-
------------------------
Harga Penjualan Rp. 352.000.000,-


2) Distributor :
a) Pembelian :
- Harga beli (DPP) : Rp. 220.000.000,-
- PPN (10%) : Rp. 22.000.000,- (Pajak Masukan)
- PPn BM (50%) : Rp. 110.000.000,- (butir 1.b)
------------------------
Harga Pembelian : Rp. 352.000.000,-


b) penyerahan :
- Harga Jual (DPP) : Rp. 240.000.000,-
- PPN (10%) : Rp. 24.000.000,- (Pajak Keluaran)
- PPn BM (50%) : Rp. 110.000.000,- (butir 1.b)
-----------------------
Harga Penjualan : Rp. 374.000.000,-

3) Dealer :
a) Pembelian :
- Harga beli (DPP) : Rp. 240.000.000,-
- PPN (10%) : Rp. 24.000.000,- (Pajak Masukan)
- PPn BM (50%) : Rp. 110.000.000,- (butir 1.b)
------------------------
Harga Pembelian : Rp. 374.000.000,-


b) penyerahan :
- Harga Jual (DPP) : Rp. 260.000.000,-
- PPN (10%) : Rp. 26.000.000,- (Pajak Keluaran)
- PPn BM (50%) : Rp. 110.000.000,- (butir 1.b)
------------------------
Harga Penjualan : Rp. 396.000.000,-

4) Sub-Dealer/Showroom :
a) Pembelian :
- Harga beli (DPP) : Rp. 260.000.000,-
- PPN (10%) : Rp. 26.000.000,- (Pajak Masukan)
- PPn BM (50%) : Rp. 110.000.000,- (butir 1.b)
-----------------------
Harga Pembelian : Rp. 396.000.000,-


b) penyerahan :
- Harga Jual (DPP) : Rp. 280.000.000,-
- PPN (10%) : Rp. 28.000.000,- (Pajak Keluaran)
- PPn BM (50%) : Rp. 110.000.000,- (butir 1.b)
------------------------
Harga Penjualan : Rp. 418.000.000,- (yang dibayar konsumen)



Catatan : Pemungutan PPn BM dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-17/PJ.51/1999 tanggal 2 Nopember 1999 dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-18/PJ.51/2000 tanggal22 Juni 2000.
14. CONTOH PENGHITUNGAN PPN KENDARAAN BERMOTOR
(Harga Jual On the Road)
1. Dealer "B" menjual satu unit kendaraan bermotor dengan harga jual kepada pembeli sebesar Rp 205.000.000 (termasuk PPN, PPn BM dan tidak termasuk Bea Balik Nama) yang dibeli dari Main Dealer "A".
2. Atas pembelian tersebut, Dealer "B" mendapat potongan harga dari Main Dealer "A".
3. PPn BM sebesar Rp 8.000.000,- sudah dipungut dan dilaporkan oleh Main Dealer "A".
4. Pengurusan balik nama kendaraan bermotor dilakukan oleh Main Dealer "A" dan pembeli membayar Rp 18.000.000,- kepada Main Dealer "A" melalui Dealer "B".
PENGHITUNGAN DAN PELAPORAN PPN OLEH DEALER "B" ADALAH :
Harga Jual Main Dealer "A" (On The Road) Rp 225.000.000,-
Potongan harga untuk Dealer "B" Rp 4.000.000,-
-----------------------
Harga Tebus Rp 221.000.000,-
Bea Balik Nama (BBN) Rp 18.000.000,-
-----------------------
Harga Beli Dealer "B" Rp 203.000.000,-
15. Faktur Pajak (Off the Road) :
BELI JUAL
Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Rp 117.272.727,- Rp 186.363.636,-
PPN (10%) Rp 17.727.273,- Rp 18.636.364,-
PPn BM (15%) Rp 8.000.000,- Rp 8.000.000,-
----------------------- -----------------------
JUMLAH Rp 203.000.000,- Rp 205.000.000,-
16. Penghitungan Dasar Pengenaan Pajak :
• BELI
100/110 X (Rp 203.000.000,- Rp 8.000.000,-) = Rp 177.272.727,-
• JUAL
100/110 x (Rp 205.000.000,- Rp 8.000.000,-) = Rp 186.363.636,-
17. Perhitungan PPN Yang Harus Disetor Ke Kas Negara Oleh Dealer :
- PAJAK KELUARAN (10% x Rp 186.363.636,-) = Rp 18.636.364,-
- PAJAK MASUKAN (10% x Rp 177.272.727,-) = Rp 17.727.273,-
----------------------
PPN yang harus disetor Rp 909.091,-

18. CONTOH PENGHITUNGAN PPN DAN PPn BM KENDARAAN BERMOTOR
YANG BERASAL DARI SASIS (DEALER SEBAGAI WAJIB PUNGUT PPn BM)
1. Dealer "B" membeli sasis kendaraan bermotor dari Main Dealer "A" seharga Rp 100.000.000,- dengan potongan harga sebesar Rp 2.000.000,- kemudian menyuruh Karoseri "C" mengubah sasis tersebut menjadi kendaraan bermotor angkutan orang dan kemudian menjualnya kepada pembeli dengan harga Rp 126.500.000 (termasuk PPN dan PPn BM).
2. PPn BM sebesar Rp 15.800.000,- dipungut dan dilaporkan oleh Dealer "B", sebagai pihak yang menyuruh melakukan pengubahan.
PENGHITUNGAN DAN PELAPORAN PPN OLEH DEALER "B" ADALAH :
Harga Jual Sasis Main Dealer "A" Rp 100.000.000,-
Potongan harga untuk Dealer "B" Rp 2.000.000,-
-----------------------
Harga Tebus/Beli Dealer "B" Rp 98.000.000,-
19. Faktur Pajak (Off The Road) :
BELI JUAL
Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Rp 89.090.090,- Rp 101.200.000,-
PPN (10 %) Rp 8.909.091,- Rp 10.120.000,-
Dasar Pengenaan Pajak (Karoseri "C") Rp 10.000.000,-
PPN - Karoseri (10 %) Rp 1.000.000,-
PPn BM (15 %) Rp -,- Rp 15.180.000,-
----------------------- -----------------------
JUMLAH Rp 109.000.000,- Rp 126.500.000,-
20. Penghitungan Dasar Pengenaan Pajak :
- Beli Sasis
100/110 X Rp 98.000.000,- = Rp 89.090.909,-
- Jual Kendaraan Bermotor
100/110 x Rp 126.500.000,- = Rp 101.200.000,-
21. Perhitungan PPN Dan PPn BM Yang Harus Disetor Ke Kas Negara Oleh Dealer :
1) PPN
- PAJAK KELUARAN (10 % x Rp 101.200.000,-) = Rp 10.120.000,-
- PAJAK MASUKAN (Rp 8.909.091 + Rp 1.000.000,-) = Rp 9.909.091,-
----------------------
PPN yang harus disetor Rp 210.909,-

2) PPn BM
15 % x Rp 101.200.000,- = Rp 15.180.000,-

22. Contoh :
- Harga Jual kendaraan Bermotor Rp 250.000.000,- (termasuk PPN sebesar Rp 20.000.000,- (10 %) dan PPn BM sebesar Rp 30.000.000,- (15%))
- Uang Muka diterima tanggal 10 Agustus 2000 sebesar Rp. 25.000.000,-
- Kendaraan akan diserahkan tanggal 20 September 2000 dengan kekurangan bayar sebesar Rp. 225.000.000,- PPN dan PPn BM terutang dan harus dipungut :
- Pada saat diterima uang muka tanggal 10 Agustus 2000 :
1) PPN : sebesar 10/125 x Rp 25.000.000,- = Rp 2.000.000,- dan harus dilaporkan pada SPT Masa PPN bulan Agustus 2000.
2) PPn BM : sebesar 15/125 x Rp 25.000.000,- = Rp 3.000.000,- dan harus dilaporkan pada SPT Masa PPn BM bulan Agustus 2000.

- Pada saat penyerahan kendaraan tanggal 20 September 2000 :
1) PPN : sebesar 10/125 x (Rp. 250.000.000,- Rp 25.000.000,-) = Rp 18.000.000,- dan harus dilaporkan pada SPT Masa PPN bulan September 2000.
2) PPn BM : sebesar 15/125 x (Rp 250.000.000,- Rp 25.000.000,-) = Rp 27.000.000,- dan harus dilaporkan pada SPT Masa PPn BM bulan September 2000.


23. Ketentuan dalam Surat Edaran ini berlaku mulai tanggal 1 Agustus 2000.
24. Dengan berlakunya ketentuan ini, maka ketentuan yang dimaksud dalam Surat-surat Edaran sebelumnya sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan Surat Edaran ini, dinyatakan masih tetap berlaku. 
KELOMPOK BARANG KENA PAJAK YANG TERGOLONG MEWAH
SELAIN KENDARAAN BERMOTOR YANG DIKENAKAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH

Tarif
(%) Jenis Barang Kena Pajak

10 kelompok alat rumah tangga, pesawat pendingin, pesawat pemanas, dan pesawat penerima siaran televisi;
kelompok peralatan dan perlengkapan olah raga;
kelompok mesin pengatur suhu udara;
kelompok alat perekam atau reproduksi gambar, pesawat penerima siaran radio;
kelompok alat fotografi, alat sinematografi, dan perlengkapannya;

20 kelompok alat rumah tangga, pesawat pendingin, pesawat pemanas, selain yang dikenakan tariff 10%;
kelompok hunian mewah seperti rumah mewah, apartemen, kondominium, town house, dan sejenisnya;
kelompok pesawat penerima siaran televisi dan antena serta reflektor antena, selain yang dikenakan tariff 10%;
kelompok mesin pengatur suhu udara, mesin pencuci piring, mesin pengering;
pesawat elektromagnetik dan instrumen musik;
kelompok wangi-wangian;

30 kelompok kapal atau kendaraan air lainnya, sampan dan kano, kecuali untuk keperluan negara atau angkutan umum;
kelompok peralatan dan perlengkapan olah raga selain yang dikenakan tariff 10%;

40 kelompok minuman yang mengandung alcohol;
kelompok barang yang terbuat dari kulit atau kulit tiruan;
kelompok permadani yang terbuat dari sutra atau wool;
kelompok barang kaca dari kristal timbal dari jenis yang digunakan untuk meja, dapur, rias, kantor, dekorasi dalam ruangan atau keperluan semacam itu;
kelompok barang-barang yang sebagian atau seluruhnya terbuat dari logam mulia atau dari logam yang dilapisi logam mulia atau campuran daripadanya;
kelompok kapal atau kendaraan air lainnya, sampan dan kano, selain yang dikenakan tarif 30%, kecuali untuk keperluan negara atau angkutan umum;
kelompok balon udara dan balon udara yang dapat dikemudikan, pesawat udara lainnya tanpa tenaga penggerak;
kelompok peluru senjata api dan senjata api lainnya, kecuali untuk keperluan negara;
kelompok jenis alas kaki;
kelompok barang-barang perabot rumah tangga dan kantor;
kelompok barang-barang yang terbuat dari porselin, tanah lempung cina atau keramik;
Kelompok barang-barang yang sebagian atau seluruhnya terbuat dari batu selain batu jalan atau batu tepi jalan;

50 kelompok permadani yang terbuat dari bulu hewan halus;
kelompok pesawat udara selain yang dikenakan tarif 40%, kecuali untuk keperluan negara atau angkutan udara niaga;
kelompok peralatan dan perlengkapan olah raga selain yang dikenakan tarif 10% dan tarif 30%;
kelompok senjata api dan senjata api lainnya, kecuali untuk keperluan negara.

75 kelompok minuman yang mengandung alkohol selain yang dikenakan tariff 40%;
kelompok barang-barang yang sebagian atau seluruhnya terbuat dari batu mulia dan/atau mutiara atau campuran daripadanya;
kelompok kapal pesiar mewah, kecuali untuk keperluan negara atau angkutan umum."

makalah fungsi bank syariah

PEMBAHASAN


KEGIATAN BANK SAYARIAH
Bank syariah ialah bank yang berasaskan kemitraan, keadilan, transparansi, dan universal serta melakukan kegiatan usaha perbankan berdasarkan prinsip syariah. Kegiatan bank syariah merupakan implementasi dari prinsip ekonomi islam dengan karakteristik, yakni :
1. pelarangan riba dalam berbagai bentuk
2. tidak mengenal konsep nilai waktu dari uang (time value of money)
3. konsep uang sebagai alat tukar bukan sebagai komoditas
4. tidak diperkenankan melakukan kegiatan yang bersifat spekulasif
5. tidak diperkenankan menggunakan dua harga untuk satu barang
6. tidak diperkenankan dua transaksi dalam satu akad
Bank syariah beroperasi atas dasar konsep bagi hasil, dia tidak ada menggunakan bunga atas penggunaan dana dan pinjaman karena bunga merupakan riba yang diharamkan.
Bank syariah dapat menjalankan kegiatan usaha untuk memperoleh imbalan atas jasa perbankan lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Transaksi yang dikatakan sesuai dengan prinsip syariah adalah sebagai berikut:
• Transaksi tidak mengandung unsur kedholiman
• Bukan riba
• Tidak membayarkan pihak sendiriatau pihak lain
• Tidak ada penipuan
• Tidak mengandung materi-materi yang diharamkan
• Tidak mengandung unsur judi
Kegiatan bank syariah dapat diterangkan sebagai berikut :
1. Manajer investasi,yang mengelola investasi atas dana nasabah dengan menggunakan akal mudharabah atau sebagai agen investasi
2. Investor, yang menginvestasikan dana yang dimiliki maupun dana nasabah yang dipercayakan kepadanya dengan menggunakan alat investasi yang sesuai dengan prinsip syariah dan membagi hasil yang diperoleh sesuai nisbah yang disepakati natara bank dan pemilik dana.
3. penyedian jasa keuangan dan lalulintas pembayaran
4. pengembangan fungsi social, berupa pengelolaan zakat, shadaqah serta pinjaman kebajikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku

FUNGSI BANK SYARIAH
Apabila selama ini dikenal fungsi bank konvensional adalah sebagai intermediary (penghubung) antara pihak yang kelebihan dana dan yang membutuhkan dana selain menjalankan fungsi jasa keuangan, maka dalam bank syariah mempunyai fungsi yang berbeda dengan bank konvensional. Fungsi bank syariah yaitu manajer investasi, Investor, Jasa keuangan dan sosial. Fungsi-fungsi ini dapat diuraikan menjadi berikut :
1. Manajer investasi
Salah satu fungsi bank syariah yang sangat penting adalah sebagai manajer investasi, maksudnya adalah bahwa bank syariah tersebut merupakan manajer investasi dari pemilik dana yang dihimpun sangat tergantung pada keahlian, kehati-hatian, dan profesionalisme dari bank syariah. Fungsi ini tidak banyak diketahui, dimengerti, dan dipahami oleh para bankir yang bekerja di bank syaria (bukan Bankir syariah), yang kebanyakan masih mempergunakan paradigma pola kerja bank konvensional. Penyaluran dana yang dilakukan oleh bank syariah yang diharapkan mendapatkan hasil, mempunyai implikasi langsung kepada pemilik dana. Jika investasi yang dilakukan bank syariah mengalami pembayaran yang tidak lancar bahkan sampai macet, dapat mengakibatkan pendapatan yang diperoleh kecil dan pendapatan yang diterima oleh pemilik dana yang dihimpun menjadi kecil pula. Besarnya dana atau investasi yang dilakukan oleh bank syariah bukanlah otomatis pendapatan bagi hasil besar yang diterima oleh pemilik dana yang dihimpun.
2. Investor
Bank-bank menginvestasikan dana yang disimpan pada bank tersebut (dana pemilik bank maupun dana rekening investasi) dengan jenis dan pola investasi yang sesuai dengan syariah. Investasi yang sesuai dengan syariah tersebut meliputi akad Murabahah, sewa-menyewa, musyarakah, akad Mudharabah, akad salam atau istisna, pembentukan perusahaan atau akuisisi pengendalian atau kepentingan lain dalam rangka mendirikan perusahaan, memperdagangkan produk, dan investasi atau memperdagangkan saham yang dapat diperjual belikan. Keuntungan dibagikan kepada pihak yang memberikan dana, setelah bank menerima keuntungan Mudharibnya yang sudah disepakati sebelum pelaksanaan akad.
3. Jasa Keuangan
Dalam menjalankan fungsi ini, bank syariah tidak jauh berbeda dengan bank non syariah, seperti misalnya memberikan pelayanan kliring, transfer,inkaso, pembayaran gaji dan sebagainya hanya saja yang sangat diperhatikan adalah prinsip-prinsip syariah yang tidak boleh dilanggar. Bank-bank islam juga menawarkan berbagai jasa-jasa keuangan lainnya untuk memperoleh imbalan atas dasar agency contract atau sewa. Contohnya meliputi Letter of guarantee,wire transfer, letter of credit,dll
4. Fungsi sosial
konsep perbankan islam mengharuskan bank-bank islam memberikan pelayanan sosial apakah melalui dana Qard (pinjaman kebajikan) atau Zakat dan dana sumbangan sesuai dengan prinsip-prinsip islam. Disamping itu, konsep perbankan islam juga mengharuskan bank-bank islam untuk memainkan peran penting di dalam pengembangan sumber daya manusianya dan memberikan kontribusi bagi kesejahteraan sosial.

LAPORAN KEUANGAN BANK SYARIAH
Oleh karena karakteristik yang berbeda bank syariah dengan bank no syariah, atau akuntansi umum, maka membawa konsekuensi pelaporan yang harus diterbitkan,sehingga laporan keuangan bank syariah meliputi:
1. Laporan keuangan yang mencerminkan kegiatan bank syariah sebagai investor beserta hak dan kewajibannya,yang dilaporkan dalam:
i. Laporan posisi keuangan (Neraca)
Dalam unsur aktiva neraca Bank Syariah, beberapa hal yang berbeda dengan unsur neraca Bank Konvensional yang perlu dijelaskan. Dalam Bank Konvensional penyaluran dana hanya dicabut dalam perkiraan “kredit” atau “pinjaman yang diberikan”, hal ini sangat berbeda dengan Bank Syariah dimana dalampenyaluran dana dicabut dalam perkiraan yang sesuai dengan prinsip penyalurannya, yaitu: (a) prinsip jual beli dibukukan pada perkiraan “piutang”, seperti piutang murabahah, piutang istishna, piutang salam, (b) prinsip bagi hasil dicabut dalam perkiraan “pembiayaan”. Seperti pembiayaan mudharabah, dan pembiayaan musyarakah, dan (c) prinsip Ijarah dicatat dalam perkiraan “aktiva ijarah” .
ii. Laporan Laba Rugi
Beberapa unsur laporan laba rugi yang ada dalam laporan laba rugi bank syariah adalah:
• Pendapatan operasi utama
• Hak pihak ketiga atas bagi hasil investasi tidak terikat
• Pendapatan operasi lainnya
• Beban-beban
iii. Laporan Arus Kas
Laporan arus kas disajikan sesuai dengan PSAK 2: Laporan Arus Kas dan PSAK 31: Akuntansi Perbankan.
iv. Laporan Perubahan Ekuitas
Laporan perubahan ekuitas disajikan sesuai dengan PSAK 1: Penyajian Laporan Keuangan.

2. Laporan keuangan yang mencerminkan perubahan dalam investasi terikat yang dikelola oleh bank syariah untuk kemanfaatan pihak-pihak lain berdasarkan akad mudharabah atas agen investasi yang dilaporkan dalam laporan perubahan dana investasi terikat. Laporan perubahan dana investasi terikat ini memuat laporan dari Mudharabah Muqayyadah (Investasi Terikat) dengan penyaluran Chanelling. Untuk investasi terikat dengan pola penyaluran Executing dilaporkan dalam neraca (on balance sheet); dan

3. Laporan keuangan yang mencerminkan peran bank syariah sebagai pemegang amanah dana kegiatan sosial yang dikelola secara terpisah, yang dilaporkan dalam:

i. Laporan posisi keuangan (neraca);
ii. Laporan sumber dan penggunaan dana zakat, infaq dan shadaqah mempunyai unsur dasar yang meliputi: sumber dana, penggunaan dana selama suatu jangka waktu, serta saldo dana zakat, infak, dan shadaqah pada tanggal tertentu;
iii. Laporan sumber dan penggunaan dana al-qardhul hasan ini memuat tentang penerimaan dan penyaluran Al-Qardh yang sumber dananya berasal dari pihak ekstern. Untuk penyaluran Al-Qardh yang sumber dananya berasal dari intern dilaporkan dalam neraca (on balance sheet).
Apabila diperbandingkan dengan laporan keuangan yang harus dibuat dalam bentuk konvensional, yang diatur dalam PSAK 31, adalah sebagai berikut:
Bank Konvensional (PSAK 31) Bank Syariah (PSAK 59)
1. Laporan Posisi Keuangan
2. Laporan Laba Rugi
3. Laporan Perubahan Ekuitas
4. Laporan Arus Kas
5. Catatan Laporan Keuangan 1. Laporan Posisi Keuangan
2. Laporan Laba Rugi
3. Laporan Perubahan Ekuitas
4. Laporan Arus Kas
5. Catatan Laporan Keuangan
6. Laporan Investasi Terikat
7. Laporan sumber dan penggunaan dana Al-qardhul hasan
8. Laporan sumber dan penggunaan dana ZIS

TUJUAN AKUNTANSI KEUANGAN BANK SYARIAH
Akuntansi keuangan terutama berkaitan dengan penyediaan informasi untuk membantu para pemakai di dalam pengambilan keputusan. Mereka yang berurusan dengan bank-bank islam mempunyai kepedulian untuk mematuhi dan mencari ridho Allah di dalam urusan keuangan dan urusan lain mereka. Allah berfirman: ” Hai sekalian manusia, makanlah yang halal dan lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu langkah-langkah syaitan, karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu”. (Surah 2: ayat 168). Sasaran dari akuntansi keuangan bagi bank-bank lain kebanyakan ditetapkan di Negara-negara bukan islam. Oleh karena itu, adalah wajar terdapat perbedaan antara sasaran-sasaran yang ditetapkan bagi bank-bank lain dan bank-bank yang akan ditetapkan untuk bank-bank islam. Perbedaan ini terutama dari perbedaan di dalam sasaran-sasaran dari mereka yang memerlukan informasi akuntansi dan dengan demikian juga informasi yang mereka butuhkan. Tetapi, ini tidak berarti kita menolak semua hasil-hasil dari pemikiran akuntansi modern di Negara-negara non-islam. Ini karena ada sasaran-sasaran yang sama antara para pemakai informasi akuntansi Muslim dan non-Muslim. Sebagai contoh, investor Muslim dan non-Muslim sama-sama ingin meningkatkan kekayaan mereka dan mendapatkan hasil yang bias diterima dari investasi mereka. Ini adalah keinginan yang sah yang telah diakui di dalam syariah yang sesuai dengan firman Allah: “Dan Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya”.(kutipan dari Surah 67:15).
Tujuan akuntansi bank syariah adalah:
1. Menentukan hak dan kewajiban pihak terkait, termasuk hak dan kewajiban yang berasal dari transaksi yang belum selesai dan atau kegiatan ekonomi lain, sesuai dengan prinsip syariah yang berlandaskan pada konsep kejujuran, keadilan, kebajikan, dan kepatuhan terhadap nilai-nilai bisnis islami.
2. Menyediakan informasi keuangan yang bermanfaat bagi pemakai laporan untuk pengambilan keputusan.
3. Meningkatkan kepatuhan terhadap prinsip syariah dalam semua transaksi dan kegiatan usaha.

TUJUAN LAPORAN KEUANGAN BANK SYARIAH
Suatu laporan keungan bermanfaat apa bila informasi yang disajikan dalam laporan keuangan tersebut dapat dipahami, relevan, andal dan di perbandingkan, akan tetapi, perlu disadari pula bahwa laporan keuangan tidak menyediakan semua informasi yang mungkin dibutuhkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan dengan bank karena secara umum laporan keuangan hanya menggambarkan pengaruh keuangan dari kejadian masa lalu dan tidak diwajibkan untuk menyediakan informasi non keuangan.
Tujuan laporan keuangan adalah sebagai berikut:
1. Pengambilan putusan investasi dan pembiayaan.
Laporan keuangan bertujuan menyediakan informasi yang bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengambilan keputusan yang rasional.pihak-pihak yang berkepentingan antara lain:
• Shahibul maal/pemilik dana
• Kreditur
• Pembayar zakat,infaq dan shadaqah
• Pemegang saham
• Otoritas pengawasan
• Bank Indonesia
• Pemerintah
• Lembaga penjamin simpanan
• masyarakat
2. Menilai prospek arus kas
Pelaporan keuangan bertujuan untuk memberikan informasi yang dapat mendukung investor/pemilik dana, kreditur dan pihak-pihak lain dalam memperkirakan jumlah,saat dan ketidakpastian dalampenerimaan kas dimasa depan atas deviden, bagi hasil,dan hasil dari penjualan, pelunasan (redemption), dan jatuh tempo dari surat berharga atau pinjaman
3. Informasi atas sumberdaya ekonomi
Pelaporan keuangan bertujuan memberikan informasi tentang sumberdaya ekonomi bank (economic resources), kewajiban bank untuk mengalihkan sumberdaya tersebut kepada entities lain atau pemilik sama
4. Kepatuhan bank terhadap prinsip syariah.
Laporan keuangan memberikan informasi mengenai kepatuhan bank terhadap prinsip syariah, serta informasi pendapatan dan beban yang tidak sesuai dengan prinsip syariah
5. Laporan keuangan memberikan informasi untuk membantu evaluasi pemenuhan tanggung jawab bank terhadap amanah dalam mengamankan dana, menginvestasikanya pada tingkat keuntungan yang layak,dan informasi mengenai tingkat keuntungan investasi yang diperoleh pemilik dana tersebut
6. Pemenuhan fungsi sosial laporan keuangan memberikan informasi mengenai pemenuhan fungsi sosial bank, termasuk pengelolaan dan panyaluran dana
ASUMSI DASAR
Asumsi dasar konsep akuntansi bank syariah sama dengan asumsidasar konsep akuntansi keuangan secara umum, yaitu konsep kelangsungan usaha (going concern) dan dasar akrual serta pendapatan untuk tujuan penghitungan bagi hasil menggunakan dasar kas




PENUTUP


A. Kesimpulan
Dari semua pembahasan yang telah dipaparkan tadi maka dapat disimpulkan bahwa “Kegiatan bank syari’ah” adalah kegitan yang merupakan implementasi dari prinsip ekonomi Islam dengan macam-macam karakteristik, conyoh yang riil adalah “riba” dalam bentuk hal apapun, didalam agama Islam riba dalam jenis apapun itu adalah haram hukumnya.
Didalam kegiatan bank tersebut ada pula laporan keungan, dan semua ini tidak luput dar apa yang sedang kita pelajari sekarang, salah satunya adalah laporan posisi keungan (Neraca).
Didalam kegiatan bank syari’ah yang dituju adalah untuk membantu para pemakai (informasi) didalam mengambil keputusan mereka, yang berurusan dengan bank-bank Islam untuk mempunyai kepedulian dan mematuhi ajaran-ajaran Alla SWT sekaligus mencari ridho-Nya dalam urusan Keungan dan urusan lainnya.

B. Saran dan Keritik
Dalam pembuatan makalah ini hanya diterapkan teorinya saja tetapi kita juga dapat mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari dari apa yang telah kita ketahui bersama dalam makalah ini.
Kurang lebihnya kami minta maaf jikalau dalam pembuatan makalah ini banyak sekali kekeliruan yang kami perbuat, sesungguhnya kami hanyalah manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan.
Saran dan keritik pembaca kami butuhkan dan kami terima apa adanya.

makalah akuntansi pihak ketiga

BAB I
PENDAHULUAN


Pada dasarnya produk perbankan syariah dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu: (I) Produk Penyaluran Dana, (II) Produk Penghimpunan Dana, dan (III) Produk yang berkaitan dengan jasa yang diberi¬kan perbankan kepada nasabahnya.

1. Produk Penyaluran Dana
Dalam menyalurkan dana pada nasabah, secara garis besar produk pembiayaan syariah terbagi ke dalam tiga kategori yang dibedakan berdasarkan tujuan penggunaannya yaitu :
- transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk memiliki barang dilakukan dengan prinsip jual beli
- transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk mendapatkan jasa dilakukan dengan prinsip sewa.
- transaksi pembiayaan untuk usaha kerjasama yang ditujukan guna mendapatkan sekaligus barang dan jasa, dengan prinsip bagi hasil.
Pada kategori pertama dan kedua, tingkat keuntungan bank ditentukan di depan dan menjadi bagian harga atas barang atau jasa yang dijual. Produk yang termasuk dalam kelompok ini adalah produk yang menggunakan prinsip jual-beli seperti murabahah, salam, dan istishna serta produk yang mengguna¬kan prinsip sewa yaitu ijarah. Sedangkan pada kategori ketiga, tingkat keuntungan bank di¬tentukan dari besarnya keuntungan usaha sesuai dengan prin¬sip bagi-hasil. Pada produk bagi hasil keuntungan ditentukan oleh nisbah bagi hasil yang disepakati di muka. Produk per-bankan yang termasuk ke dalam kelompok ini adaiah musyara¬kah dan mudharabah.

2. Produk Penghimpunan Dana
Bagi bank konvensional, selain modal, sumber dana lainnya cenderung bertujuan untuk “menahan” uang. Hal ini sesuai dengan pendekatan yang dilakukan Keynes yang mengemukakan bahwa orang membutuhkan uang untuk tiga kegunaan : transaksi, cadangan (jaga-jaga), dan investasi. Oleh karena itu, produk penghimpunan dana pun disesuaikan dengan tiga fungsi tersebut, yaitu berupa giro, tabungan, dan deposito yang lazim disebut dengan dana pihak ketiga.
Berbeda dengan hal tersebut, bank syariah tidak melakukan pendekatan tunggal dalam menyediakan produk penghimpunan dana bagi nasabahnya. Misalnya pada tabungan, beberapa bank memperlakukannya seperti giro, sementara itu ada pula yang memperlakukannya seperti deposito, bahkan ada yang tidak menyediakan produk tabungan sama sekali. Dalam bank syariah penghimpunan dana dari masyarakat dilakukan tidak membedakan nama produk tetapi melihat pada prinsip yaitu prinsip wadiah dan prinsip mudharabah. Apapun nama produk yang diperhatikan adalah prinsip yang dipergunakan atas produk tersebut, hal ini sangat terkait dengan porsi pembagian hasil usaha yang akan dilakukan antara pemilik dana/deposan (shahibul maal) dengan bank syariah sebagai mudharib. Untuk mengetahui lebih dalam tentang kedua prinsip tersebut, maka kami lakukan pembahasan masing-masing prinsip pada bab II.
Pada dasarnya, dilihat dari sumbernya dana bank syariah terdiri dari : Modal inti (core capital), kuasi ekuitas (mudharabah account) dan titipan (wadiah) atau simpanan tanpa imbalan (non remunerated deposit).
Modal inti adalah dana modal sendiri yaitu dana yang berasal dari para pemegang saham bank, yakni pemilik bank. Pada umumnya dana modal inti terdiri dari :
a. modal yang disetor oleh para pemegang saham,
b. Cadangan, yaitu sebagian laba bank yang tidak dibagi, yang disisihkan untuk menutup timbulnya resiko kerugian di kemudian hari,
c. Laba ditahan, yaitu sebagian laba yang seharusnya dibagikan kepada para pemegang saham, tetapi oleh para pemegang saham sendiri (melalui Rapat Umum Pemegang Saham) diputuskan untuk ditanam kembali dalam bank. Laba ditahan ini juga merupakan cara untuk menambah dana modal lebih lanjut.






BAB II
AKUNTANSI PRODUK DANA PIHAK III


A. PRINSIP TITIPAN ATAU SIMPANAN (DEPOSITORY/AL-WADI’AH)
1. Pengertian Al-Wadi’ah
Secara etimologi, Al-Wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki.
Secara terminologi, ada dua definisi Al-Wadi’ah yang dikemukakan pakar Fiqh. Pertama, definisi yang dikemukakan oleh ulama Hanafiyah, yaitu : “mengikutsertakan orang lain dalam memelihara harta, baik dengan ungkapan yang jelas, melalui tindakan, maupun melalui isyarat”. Kedua, definisi yang dikemukakan ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah (jumhur ulama), yaitu :
“mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu”

2. Landasan Syari’ah
a. Al-Qur’an
 •        …
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyampaikan amanat (titipan), kepada yang berhak menerimanya…” (an-Nisaa’: 58)
…            …
“…jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya…” (al-Baqarah: 283)
b. Al-Hadits
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasullulah saw. Bersabda, “Sampaikanlah (tunaikanlah) amanat kepada yang berhak menerimanya dan jangan membalas khianat kepada orang yang telah mengkhianatimu.” (HR Abu Dawud dan menurut Tirmidzi hadits ini hasan, sedang Imam Hakim mengkategorikannya sahih)
Ibnu Umar berkata bahwasanya Rasullulah telah bersabda, “Tiada kesempurnaan iman bagi setiap orang yang tidak beramanah, tiada shalat bagi yang tidak bersuci.”
c. Ijma
Para tokoh ulama Islam sepanjang zaman telah melakukan ijma (konsensus) terhadap legitimasi al-wadi’ah karena kebutuhan manusia terhadap hal ini jelas terlihat, seperti dikutip oleh Dr. Azzuhaily dalam al-fiqh al-Islami wa Adillatuhu dari kitab al-Mughni wa Syarh Kabir li Ibni Qudhamah dan Mubsuth li Imam Sarakhsy.
Penjelasan
Pada dasarnya, penerima simpanan adalah yad al-amanah (tangan amanah), artinya ia tidak bertanggung jawab atas kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada asset titipan selama hal ini bukan akibat dari kelalaian atau kecerobohan yang bersangkutan dalam memelihara barang titipan (karena factor-faktor diluar batas kemampuan). Hal ini telah dikemukakan oleh Rasulullah dalam hadits.
“Jaminan pertanggungjawaban tidak diminta dari peminjam yang tidak menyalahgunakan (pinjaman) dan penerima titipan yang tidak lalai terhadap titipan tersebut.”
Akan tetapi dalam aktivitas perekonomian modern, si penerima simpanan tidak mungkin akan meng-idle-kan aset tersebut, tetapi mempergunakannya dalam aktivitas perekonomian tertentu. Karenanya, ia harus meminta ijin dari si pemberi titipan untuk kemudian mempergunakan hartanya tersebut dengan catatan ia menjamin akan mengembalikan aset tersebut secara utuh. Dengan demikian ia bukan lagi yad al-amanah, tetapi yad adh-dhamanah (tangan penanggung) yang bertanggung jawab atas segala kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada barang tersebut.

3. Rukun Al-Wadi’ah
Ulama hanafiyah menyatakan bahwa rukun al-wadi’ah hanya satu, yaitu ijab (ungkapan penitipan barang dari pemilik), dan qabul (ungkapan menerima titipan oleh orang yang dititipi). Menurut Jumhur Ulama fiqh rukun Al-Wadi’ah ada tiga, yaitu : Orang yang berakad, barang titipan, shighat ijab dan qabul.

4. Syarat Al-Wadi’ah
Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa yang menjadi syarat bagi kedua belah pihak yang melakukan akad adalah harus orang yang berakal. Sedangkan menurut jumhur ulama, pihak-pihak yang melakukan transaksi al-wadi’ah disyaratkan telah balig, berakal, dan cerdas, karena akad al-wadi’ah merupakan akad yang banyak mengandung resiko penipuan.
Syarat kedua akad al-wadi’ah adalah bahwa barang titipan itu jelas dan boleh dikuasai (al-qabdh). Maksudnya, barang yang dititipkan itu boleh diketahui identitasnya dengan jelas dan boleh dikuasai untuk dipelihara.

5. Akad al-wadi’ah
Dilihat dari segi sifat akad al-wadi’ah, para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa akad al-wadi’ah bersifat mengikat bagi kedua belah pihak yang melakukan akad.
Secara umum terdapat dua jenis wadi’ah : wadi’ah yad al-amanah dan wadi’ah yad adh-dhamanah.

1. Wadi’ah yad al-amanah (Trustee Depository)
Wadi’ah jenis ini memiliki karakteristik sebagai berikut :
a. Harta atau barang yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan dan digunakan oleh penerima titipan.
b. Penerima titipan hanya berfungsi sebagai penerima amanah yang bertugas dan berkewajiban untuk menjaga barang yang dititipkan tanpa boeh memenfaatkannya.
c. Sebagai konfensasi,penerima titipan diperkenenkan untuk membebankan biaya kepaa yang menitipkan.
d. Mengingat barang atau jasa yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan oleh penerima titipan,aplikasi perbankan yang memungkinkan untuk jenis ini adalah jasa penitipan atau safe deposit box.
Mekanisme seperti diatas dapat digambarkan dalam diagram berikut ini:

Skema al-wadi’ah yad al-amanah

(1)Titip barang


(2)Bebankan Biaya Penitipan
Keterangan:
Dengan konsep al-wadi’ah yad al-amanah,pihak yang menerima titipan tidak boleh menggunakan dan memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan. Pihak penerima titipan dapat membebankan biaya kepada penitip sebagai biaya penitipan.

2. Wadi’ah yad adh-dhamanah (Guarantee Depository)
Wadi’ah jenis ini memiliki karakteristik berikut ini :
a. Harta dan barang yang dititipkan boleh dan dapat dimanfaatkan oleh yng menerima titipan.
b. Karena dimanfaatkan,barang dan harta yang dititipkan tersebut tentu dapat menghasilkan manfaat. Sekali pun demikian,tidak ada keharusan bagi penerima titipan untuk memberikan hasil pemanfaatan kepada si penitip.
c. Produk perbankan yang sesuai dengan akad ini yaitu giro dan tabungan.
d. Bank konfensional memberikan jasa giro sebagai imbalan yang dihtung berdasarkan persentase yang telah ditetapkan. Adapun bankl syariah,pemberian bonus (semacam jasa giro) tidak boleh disebutkan dalam kontrak ataupun dijanjikan dalam akad,tetapi benar-benar pemberian sepihak sebagai tanda terima kasih dari pihak bank.
e. Jumlah pemberian bonus sepenuhnya merupakan kewenangan manajemen bank syariah karewna pada prinsinya dalam akad ini penekanannya adalah titipan.
f. Produk tabungan juga dapat menggunakan akad wadi’ah karena pada prinsipnya tabungan mirip dengan giro,yaitu simpanan yang bias diambil setiap saat. Perbedaannya,tabungan tidak dapat ditarik dengan cek atau alat lain yang dipersamakan.
Mekanisme wadi’ah yad adh-dhamanah dapat digambarkan dalam skema sebagai berikut:
Skema al-wadi’ah yad adh-dhamanah
(1) Titip dana


(4) Beri bonus

(3)Bagi hasil (2) Pemanfaatan dana




Keterangan:
Dengan konsep al-wadi’ah yad dhamanah pihak yang meneria titipan boleh menggunakan dan memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan. Tentu, pihak bank dalam hal ini mendapatkan hasil dari pengguna dana. Bank dapat memberikan intensif kepada penitip dalam bentuk bonus.
Perbedaan antara jasa giro dan bonus
No JASA GIRO BONUS (ATHAYA)
1. Diperjanjikan Tidak diperjanjikan
2. Disebutkan dalam akad Benar-benar merupakan budi bank
3. Ditentukan dalam persentasi yang tetap Ditentukan sesuai dengan keuntungan riil bank

6. Aplikasi Perbankan
Dana titipan adalah dana pihak ketiga yang dititipkan pada bank, yang umumnya berupa giro atau tabungan. Pada umumnya motivasi utama orang menitipkan dana pada bank adalah untuk keamanan dana mereka dan memperoleh keleluasaan untuk menarik kembali dananya sewaktu-waktu.
1) Giro Wadi’ah
Dalam undang-undang no.10 tahun 1998, pasal 1 ayat 6 disebutkan yang dimaksud dengan giro adalah simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya atau dengan cara pemindahbukuan.
Bank Islam dapat memberikan jasa simpanan giro dalam bentuk rekening wadi’ah. Dalam hal ini bank Islam menggunakan prinsip wadiah yad dhamanah. Dengan prinsip ini bank sebagai custodian harus menjamin pembayaran kembali nominal simpanan wadiah. Dana tersebut dapat digunakan oleh bank untuk kegiatan komersial dan bank berhak atas pendapatan yang diperoleh dari pemanfaatan harta titipan tersebut dalam kegiatan komersial. Pemilik simpanan dapat menarik kembali simpanannya sewaktu-waktu, baik sebagian atau seluruhnya. Bank tidak boleh menyatakan atau menjanjikan imbalan atau keuntungan apapun kepada pemegang rekening wadiah, dan sebaliknya pemegang rekening juga tidak boleh mengharapkan atau meminta imbalan atau keuntungan atas rekening wadiah. Setiap imbalan atau keuntungan yang dijanjikan dapat dianggap riba. Namun demikian bank, atas kehendaknya sendiri, dapat memberikan imbalan berupa bonus (hibah) kepada pemilik dana. (pemegang rekening wadiah).
Ciri-ciri giro wadiah adalah sebagai berikut :
a. Bagi pemegang rekening disediakan cek untuk mengoperasi kan rekeningnya;
b. Untuk membuka rekening diperlukan surat referensi nasabah lain atau pejabat bank, dan menyetor sejumlah dana minimum (yang ditentukan kebijaksanaan masing-masing bank) sebagai setoran awal;
c. Calon pemegang rekening tidak terdaftar dalam daftar hitam Bank Indonesia;
d. Penarikan dapat dilakukan setiap waktu dengan cara menyerahkan cek atau instruksi tertulis lainnya;
e. Tipe rekening :
Rekening perorangan, rekening pemilik tunggal, rekening bersama (dua orang individu atau lebih), rekening organisasi atau perkumpulan yang tidak berbadan hukum, rekening perusahaan yang berbadan hukum, rekening kemitraan, dan rekening titipan;
f. Servis lainnya :
Cek istimewa, instruksi siaga (standing instruction), transfer dana otomatis, kepada pemegang rekening akan diberikan salinan rekening (statement of account) dengan rincian transaksi setiap bulan, dan konfirmasi saldo dapat dikirimkan oleh bank kepada pemegang rekening setiap enam bulan atau periode yang dikehendaki oleh pemegang rekening.

2) Tabungan Wadi’ah
Prinsip wadiah yad dhamanah ini juga dipergunakan oleh bank dalam mengelola jasa tabungan, yaitu simpanan dari nasabah yang memerlukan jasa penitipan dana dengan tingkat keleluasaan tertentu untuk menariknya kembali. Bank memperoleh izin dari nasabah untuk menggunakan dana tersebut selama mengendap di bank. Nasabah dapat menarik sebagian atau seluruh saldo simpanannya sewaktu-waktu atau sesuai dengan perjanjian yang disepakati. Bank menjamin pembayaran kembali simpanan mereka. Semua keuntungan atas pemanfaatan dana tersebut adalah milik bank, tetapi, atas kehendaknya sendiri, bank dapat memberikan imbalan keuntungan yang berasal dari sebagian keuntungan bank. Bank menyediakan buku tabungan dan jasa-jasa yang berkaitan dengan rekening tersebut.
Ciri-ciri rekening tabungan wadi’ah adalah sebagai berikut :
a. Menggunakan buku (passbook) atau kartu ATM;
b. Besarnya setoran pertama dan salbo minimum yang harus mengendap, tergantung pada kebijakan masing-masing bank;
c. Penarikan tidak dibatasi, berapa saja dan kapan saja;
d. Tipe rekening :
- Rekening perorangan,
- Rekening bersama (dua orang atau lebih),
- Rekening organisasi atau perkumpulan yang tidak berbadan hukum,
- Rekening perwalian (yang dioperasikan oleh orang tua atau wali dari pemegang rekening),
- Rekening jaminan (untuk menjamin pembiayaan);
e. Pembayaran bonus (hibah) dilakukan dengan cara mengkredit rekening tabungan.
Bank Syariah tidak memperjanjikan bagi hasil atas tabungan wadiah, walaupun atas kemauannya sendiri bank dapat memberikan bonus kepada para pemegang rekening wadiah. Sebagai konsekuensi dari yad adh-dhamanh, semua keuntungan yang dihasilkan dari dana titipan tersebut menjadi milik bank, (demikian juga ia adalah penanggung seluruh kemungkinan kerugian). Sebagai imbalan, si penyimpan mendapat jaminan keamanan terhadap hartanya, demikian juga fasilitas-fasilitas giro lainnya.
Sungguhpun demikian,bank sebagai penerima titipan, Sekaligus juga pihak yang telah memanfaatkan dana tersebut, tidak dilarang untuk memberikan semacam insentif berupa bonus dengan catatan tdak disyaratkan sebelumnya dan jumlahnya tidak ditetapkan dalam nominal atau persentase secara advance, tetapi betul-betul merupakan kebijaksanaan dari manajemen bank.
Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan Abu Rafie bahwa Rasulullah saw pernah meminta seseorang untuk meminjamkannya seekor unta. Diberinya unta kurban (berumur sekitar 2 tahun). Setelah selang beberapa waktu, Rasulullah saw memerintahkan Abu Rafie untuk mengembalikan unta tersebut kepada pemiliknya, tetapi Abu Rafie kembali kepada Rasulullah saw seraya berkata, “Ya Rasulullah, unta yang sepadan tidak kami temukan, yang ada hanya unta yang lebih besar dan berumur 4 tahun”. Rasulullah saw berkata, “berikanlah itu, karena sesungguhnya sebaik-baik kamu adalah yang terbaik ketika membayar” (HR Muslim)
Dari semangat hadits diatas, jelaslah bahwa bonus sama sekali berbeda dari bunga baik dalam prinsip maupun sumber pengambilan. Dalam praktiknya, nilai nominalnya mungkin akan lebih kecil, sama, atau lebih besar dari nilai suku bunga.
Dalam dunia perbankan modern yang penuh dengan kompetisi, insentif semacam ini dapat dijadikan sebagai banking policy dalam upaya merangsang semangat masyarakat dalam menabung sekaligus sebagai indicator kesehatan bank terkait, hal ini karena semakin besar nilai keuntungan yang diberikan kepada penabung dalam bentuk bonus, semakin efisien pula pemanfaatan dana tersebut dalam investasi yang produktif dan yang menguntungkan.
Dewasa ini, banyak bank Isalm di luar negeri yang telah berhasil mengkombinasikan prinsip al-wadi’ah dengan prinsip al-mudharabah. Dalam kombinasi ini, dewan direksi menentukan besarnya bonus dengan menetapkan persentase dari keuntungan yang dihasilkan oleh dana al-wadi’ah tersebut dalam suatu kredit tertentu.
B. PRINSIP INVESTASI
Prinsip lain yang digunakan adalah prinsip investasi. Aka yang sesuai dengan prinsip ini adalah mudharabah. Istilah mudharabah merupakan istilah yang paling banyak digunakan oleh bank-bank islam. Prinsip ini juga dikenal”qiradh” atau “muqaradah”. Mudharabah adalah perjanjian atas suatu jenis perkongsian,dimana pihak pertama (shahib al’mal) menyediakan dana,dan pihak kedua (mudharib) bertanggung jawab atas pengelolaan usaha. Hasil usaha dibagikan dengan nisbah (porsi bagi hasil) yang telah disepakati bersama dari awal.
Dalam transaksi dengan prinsip mudharabah harus dipenuhi rukun mudharabah yaitu : shahibul maal/robulmal (pemilik dana/nasabah), mudharib (pengelola dana/pengusaha/bank), amal (usaha/pekerjaan), dan ijab qobul).
Dilihat dari segi kuasa yang diberikan kepada pengelola, maka mudharabah terbagi menjadi dua jenis, yaitu : mudharabah muathlaqah (investasi tidak terikat) dan mudharabah muqaidah/muqayyadah (investasi terikat).
1. Mudharabah Muthlaqah (General Investment)
a. Sahibul maal tidak memberikan batasan-batasan (restriction) atas dana yan id investasikannya. Mudharib diberi wewenang penuh mengelola dana tersebut tanpa terikat waktu, tempat, jenis usaha, dan jenis pelayanannya.
b. Aplikasi perbankan yang sesuai dengan akad ialah time deposit biasa.
Skema mudharabah mutlaqah dapat di gambarkan sebagai berikut.


Dalam skema mudharabah muthlaqah terdapat beberapa hal yang sangat berbeda secara fundamental dalam hal nature of relationship between bank and customers pada bank konvensional.
d. Penabung atau deposan di bank syariah adalah investor dengan sepenuh-penuhnya makna investor.
e. Bank memiliki dua fungsi : kepada deposan atau penabung, ia bertindak sebagai pengelola, sedangkan kepada dunia usaha ia berfungsi sebagai pemilik dana.
f. Dunia usaha berfungsi sebagai pengguna dan pengelola dana yang harus berbagi hasil dengan pemilik dana, yaitu bank. Dalam pengembangannya, nasabah pengguna dana dapat juga menjalin hubungan dengan bank dalam bentuk jual beli, dan sewa.

2. Mudharabah Muqayyadah
a. Shahibul Maal memberikan batasan atas dana yang di investasikannya. Mudharib hanya bisa mengelola dana tersebut sesuai dengan batasan yang diberikan oleh shahibul maal. Misalnya, hanya untuk jenis usaha tertentu saja, tempat tertentu, waktu tertentu dan lain-lain.
b. Pola dalam mudharabah muqaidah/muqayyah atau investasi terikat dapat di lakukan dengan cara: Chanelling dan Executing. Prinsip-prinsip mudharabah ini dapat di aplikasikan dalam kegitan usaha perbankan yaitu : tabungan mudharabah dan deposito mudharabah.
c. Aplikasi perbankan yang sesuai dengan akad ini ialah special investment.
Special investment melalui mudharabah muqayyah dapat di gambarkan dalam skema berikut ini.



Penghimpunan Dana (Mudharabah Muqayyadah)


Keterangan
Dalam investasi dengan menggunakan konsep Mudharabah muqayyadah, pihak bank terikat dengan ketentuan-ketentuan yang telah di tetapkan oleh shahibul maal, misalnya:
- jenis investasi,
- waktu dan tempat,
Produk special investment based on restricted mudharabah ini sangat sesuai dengan special high networth individuals atau company yang memiliki kecenderungan investasi khusus.
Di samping itu, special investment merupakan suatu modus funding dan financing, sekaligus yang sangat cocok pada saat-saat krisis dan sektor perbankan mengalami kerugian yang menyeluruh. Dengan special investment, investor tertentu tidak perlu menanggung overhead bank yang terlalu besar karena seluruh dananya masuk ke proyek khusus demgan return dan cost yang di hitung khusus pula.


BAB III
KESIMPULAN


1. Pada dasarnya produk perbankan syariah dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu: (I) Produk Penyaluran Dana, (II) Produk Penghimpunan Dana, dan (III) Produk yang berkaitan dengan jasa yang diberi¬kan perbankan kepada nasabahnya.
2. Produk per¬bankan yang termasuk ke dalam kelompok produk penyaluran dana adaiah musyara¬kah dan mudharabah.
3. Produk penghimpunan dana yaitu berupa giro, tabungan, dan deposito yang lazim disebut dengan dana pihak ketiga.
4. Sumber dana bank Syariah terdiri dari : Modal inti (core capital), kuasi ekuitas (mudharabah account) dan titipan (wadiah) atau simpanan tanpa imbalan (non remunerated deposit).
5. Dalam bank syariah penghimpunan dana dari masyarakat dilakukan tidak membedakan nama produk tetapi melihat pada prinsip yaitu prinsip wadiah dan prinsip mudharabah.
6. Wadi’ah merupakan titipan murni yang setiap saat dapat diambil jika pemiliknya menghendaki. Secara umum terdapat dua jenis wadi’ah : wadi’ah yad al-amanah dan wadi’ah yad adh-dhamanah.
7. Mudharabah merupakan akad yang menggunakan prinsip investasi. Tujuan dari mudharabah adalah kerjasama antara pemilik dana (shahibul maal) dan pengelola dana (mudharib). Dilihat dari segi kuasa yang diberikan kepada pengelola, maka mudharabah terbagi menjadi dua jenis, yaitu : mudharabah muathlaqah (investasi tidak terikat) dan mudharabah muqaidah/muqayyadah (investasi terikat)