Selain kasus memilukan tentang kecurangan Ujian Nasional (UN) dan Bu Prita Mulyasari, ada dua kisah lain yang tak kalah dramatis, yakni Manohara dan Ambalat. Berbeda dengan kasus UN dan Bu Prita yang murni merupakan persoalan internal, Manohara dan Ambalat bisa dibilang sebagai “amunisi” yang bisa mengusik sentimen kebangsaan. Manohara dan Ambalat, sebagaimana gencar diwartakan, setidaknya melibatkan Malaysia sebagai “patron” yang berdiri di balik dua peristiwa itu.
Kasus yang menimpa Manohara Odelia Pinot, mencuat ke publik setelah kisah cintanya dengan Sang Pangeran Kelantan Malaysia, Tengku Temenggong Muhammad Fakhri Petra, berjalan kurang mulus. Berdasarkan pengakuannya, Mano sering mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Dalam sebuah wawancara yang disebarluaskan melalui youtobe, Mano dengan suara terisak-isak menuturkan nasib hidupnya yang kurang beruntung. Kabarnya, dia hanya diperlakukan sebagai asesoris dalam sebuah kehidupan domestik kaum aristokrat Kelantan. Dia hanya dipamerkan pada saat pesta dan pertemuan-pertemuan resmi dengan busana dan perhiasan ala Cinderella. Di tengah deraan nasib yang menelikungnya, Mano sering dipaksa untuk selalu menaburkan senyuman sebagai bagian dari “tradisi” bangsawan Kelantan saat menyambut tamu. Mano harus terus berakting dalam sebuah pementasan drama kehidupan yang kontras. Menaburkan pesona senyum dan kecantikannya ke tengah publik Kelantan, Malaysia, di balik derita fisik dan psikis yang terus menderanya.
Sepenggal kisah hidup Manohara yang tragis, dengan serta-merta menjadi santapan media. Mano tak ubahnya seorang selebritis yang tersakiti dan ternistakan di negeri orang, hingga banyak orang simpati atas deraan nasib yang dialaminya. Dukungan setia sang Ibu, Daisy Fajarina, makin menguatkan kesan, betapa tidak manusiawinya Sang Pangeran dalam memperlakukan dara cantik yang baru berusia 17 tahun itu. Meski kita belum tahu persis kenyataan yang sesungguhnya sedang terjadi, tak urung Mano telah membuat banyak pihak tiba-tiba merasa geregetan dan terusik sentimen nasionalismenya.
Sentimen nasionalisme itu kian tersulut ketika dalam waktu yang hampir bersamaan kasus Ambalat kembali mencuat ke permukaan. Kasus itu dipicu ketika Malaysia melakukan provokasi atas wilayah perairan Indonesia di utara Kalimantan Timur itu dengan mengirim kapal-kapal perangnya melewati perairan Indonesia di Blok Ambalat. Menurut pengamat hukum laut internasional, Wilhelmus Wetan Songa, provokasi Malaysia itu merupakan sebuah taktik diplomasi yang menuntut kita (Indonesia) untuk sesegera mungkin membicarakan masalah Ambalat dengan negeri serumpun Melayu itu.
Berdasarkan catatan Wikipedia, sengketa awal tentang Blog Ambalat ini muncul setelah pada tahun 1967 dilakukan pertemuan teknis hukum laut antara Indonesia dan Malaysia. Kedua belah pihak akhirnya sepakat (kecuali Sipadan dan Ligitan diberlakukan sebagai keadaan status quo), sehingga pada tanggal 27 Oktober 1969 dilakukan penanda tanganan perjanjian antara Indonesia dan Malaysia yang disebut sebagai Perjanjian Tapal Batas Kontinental Indonesia- Malaysia. Kedua negara masing-masing melakukan ratifikasi pada 7 November 1969.
Tak lama berselang, masih pada tahun 1969, Malaysia membuat peta baru yang memasukkan pulau Sipadan, Ligitan dan Batu Puteh (Pedra blanca). Hal ini tentu saja membingungkan, sehingga Indonesia maupun Singapura tidak mengakui peta baru Malaysia tersebut. Kemudian, pada tanggal 17 Maret 1970 kembali ditandatangani Persetujuan Tapal batas Laut Indonesia dan Malaysia. Akan tetapi, kembali pada tahun 1979 pihak Malaysia membuat peta baru mengenai tapal batas kontinental dan maritim dengan serta-merta menyatakan dirinya sebagai negara kepulauan dan secara sepihak membuat perbatasan maritimnya sendiri dengan memasukkan blok maritim Ambalat ke dalam wilayahnya, yaitu dengan memajukan koordinat 4° 10′ arah utara melewati pulau Sebatik. Nasib peta ini pun sama dengan terbitan Malaysia pada tahun 1969, yaitu diprotes dan tidak diakui oleh pihak Indonesia karena berkali-kali pihak Malaysia membuat sendiri peta sendiri, padahal sudah ada perjanjian Perjanjian Tapal Batas Kontinental Indonesia-Malaysia tahun 1969 dan Persetujuan Tapal batas Laut Indonesia dan Malaysia tahun 1970. Aksi-aksi sepihak dari Malaysia ini dipahami sebagai perbuatan yang secara terus menerus dari ingin melakukan ekspansi terhadap wilayah Indonesia.
Mencuatnya kasus Ambalat makin melengkapi daftar sentimen nasionalisme yang selama ini memang sudah sering terusik akibat sikap arogansi dan jumawa yang nyata-nyata dipraktikkan oleh negeri jiran itu dalam sejarah diplomatik Indonesia. Bukankah Malaysia juga telah mengklaim lagu “Rasa Sayange”, batik, dan berbagai seni tradisi lainnya, sebagai bagian dari karya-karya mereka?
Meski demikian, kita jangan sampai terperangkap dalam irama gendang yang sengaja dimainkan pihak Malaysia agar kita terus menari-nari hingga akhirnya lupa diri dan masuk ke dalam perangkap yang mereka pasang. Lepasnya Sipadan dan Ligitan sudah bisa menjadi bukti dan pengalaman berharga, betapa kedaulatan negara yang seharusnya menjadi harga mati itu masih demikian gampang dipermainkan orang. Kini, sudah saatnya bangsa kita membangun kesadaran kolektif bahwa Indonesia adalah sebuah negeri besar yang merdeka, berdaulat, dan bermartabat!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar